Rabu, 06 April 2011

Tuhan Merajut Kehidupanmu


Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.

Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut:

“Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.”

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu Semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil; ” anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu. “

Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.

Kemudian ibu berkata:”Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya.

Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan.”

Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Tuhan; “Tuhan, apa yang Engkau lakukan? ”

Ia menjawab: ” Aku sedang menyulam kehidupanmu.”

Dan aku membantah,” Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?”

Kemudian Tuhan menjawab,” Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu. Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke surga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang selalu indah2 untukmu .”

Mengejar Bayangan

Seorang anak kecil bercucuran keringat. Ia telah berusaha cukup lama berlari dan terus berlari. Ia ingin mengalahkan sesuatu di depannya, ia ingin melampaui bayangannya sendiri. Namun semakin ia kejar, semakin yang dikejar itu menjauh mendahuluinya. Tak peduli berapa jauh ia mengejar, berapa cepat ia berlari, bayangannya selalu tetap saja berada di depannya, pada hal ia kini sudah kehabisan tenaga.

Akhirnya orangtuanya tahu juga apa yang sedang diperbuat anaknya. Sang ibu dengan penuh kasih memberikan sebuah nasihat yang amat sederhana; 'Anakku sayang! Hanya ada satu tindakan sederhana yang perlu engkau perbuat untuk mengalahkan bayanganmu, yakni berjalan menghadap matahari. Karena dengan itu bayanganmu pasti akan berada di belakangmu. Hanya dengan itu engkau menjadi pemenangnya'.



Anda mungkin pernah atau sedang berusaha sekuat tenaga untuk melampaui suatu 'bayangan' tertentu. Mungkin anda berhadapan dengan problema pekerjaan, studi, atau masalah perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Bila saat itu datang, mari kita berdiri menghadap Sang Matahari abadi yang memancar dalam setiap hati. Yesus, adalah Matahari sejati kita. Seperti matahari yang terbit menyinari kita...seperti itulah janji Tuhan.

Segala rintangan tak akan menghadap kita, tetapi kita akan melaluinya dan kita akan melewatinya ketika kita berjalan menuju kepadaNya.

Gbu

Ingatlah disaat...

Disaat kamu ingin melepaskan seseorang..ingatlah pada saat kamu ingin mendapatkannya

Disaat kamu mulai tidak mencintainya…ingatlah saat pertama kamu jatuh cinta padanya

Disaat kamu mulai bosan dengannya…ingatlah selalu saat terindah bersamanya

Disaat kamu ingin menduakannya…bayangkan jika dia selalu setia

Saat kamu ingin membohonginya…ingatlah disaat dia jujur padamu

Maka kamu akan merasakan arti dia untukmu

Jangan sampai disaat dia sudah tidak disisimu,

Kamu baru menyadari semua arti dirinya untukmu

Yang indah hanya sementara

Yang abadi adalah kenangan

Yang ikhlas hanya dari hati

Yang tulus hanya dari sanubari

Tidak mudah mencari yang hilang

Tidak mudah mengejar impian

Namun yg lebih susah mempertahankan yg ada

Karena walaupun tergenggam bisa terlepas juga

Ingatlah pada pepatah,

“Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini”

Belajar menerima apa adanya dan berpikir positif….

Hidup bagaikan mimpi, seindah apapun, begitu bangun semuanya sirna tak berbekas

Rumah mewah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, kedudukan, dan jabatan yg luar biasa, namun…

Ketika nafas terakhir tiba, sebatang jarum pun tak bisa dibawa pergi

Sehelai benang pun tak bisa dimiliki

Apalagi yang mau diperebutkan

Apalagi yang mau disombongkan

Maka jalanilah hidup ini dengan penuh rasa syukur

Jangan terlalu perhitungan

Jangan hanya mau menang sendiri

Jangan suka sakiti sesama apalagi terhadap mereka yang berjasa bagi kita

Belajarlah tiada hari tanpa kasih

Selalu berlapang dada dan mengalah
Hidup ceria, bebas leluasa…

Tak ada sakit hati yang tak bisa dimaafkan
Tak ada dendam yang tak bisa terhapus….

God Bless..

Harta Karun dan Ketamakan

Ada sebuah kisah tua yang telah beredar menembusi batas budaya dan telah diceritakan berulang kali. Dikisahkan, seorang pertapa tua, dalam perjalanan meditasinya menembusi hutan belantara, ia menemukan sebuah gua batu yang di dalamnya penuh berisikan harta karun.

Sang pertapa yang tidak hanya tua tetapi juga bijaksana ini setelah melihat apa yang ada dalam gua tersebut serentak menyingsingkan sarung pertapaannya dan mengambil langkah seribu, berlari sekuat tenaga meninggalkan gua yang penuh harta karun tersebut. Namun di tengah jalan ia berpapasan dengan tiga serdadu yang nampak keheranan menyaksikan sang pertapa tua yang sedang ketakutan tersebut. Ketiga serdadu tersebut menghentikannya dan menanyakan alasan yang membuatnya kelihatan tersebut.

"Saya melarikan diri dari kejaran segerombolan setan," jawab sang pertapa.

Didorong oleh rasa ingin tahu yang amat mendalam, ketiga serdadu itu mendesak, "Tunjukan hal itu kepada kami."

Sambil memberontak dan protes keras, sang pertapa tua membawa ketiga serdadu itu menuju gua harta karun yang baru saja ditemukannya.

"Lihatlah!" kata sang pertapa, "Inilah setan, sang kematian yang sedang mengejar diriku."

Ketiga serdadu itu saling memandang dan merasa bahwa sang pertapa tua itu adalah seorang yang amat bodoh dan sedang dirasuki setan. Karena itu mereka melepaskannya untuk meneruskan perjalanannya. Kini mereka bersorak atas apa yang baru saja mereka temukan, dan memutuskan bahwa salah satu di antara mereka harus kembali ke kota untuk membeli bahan makanan yang cukup serta membawa alat-alat untuk menggali dan menumpulkan harta karun tersebut, sedangkan dua yang lain akan menunggu dan menjaga dalam gua sehingga harta karun tersebut tidak jatuh ke tangan orang lain.

Salah satu di antara mereka menawarkan diri untuk menuju kota. Dalam perjalanannya ke kota ia mulai merancang suatu aksi yang akan dibuatnya agar harta karun dalam gua itu sepenuhnya menjadi miliknya. Apa yang akan dibuatnya? Ia akan meracuni makanan yang akan diberikan kepada kedua temannya. Bila keduanya mati keracunan maka harta karun itu akan menjadi miliknya tanpa harus dibagi-bagi.

Pada saat yang sama kedua serdadu yang menanti dalam gua juga sedang berembuk mencari jalan agar harta karun yang ada hanya dibagikan di antara mereka berdua. Keputusan mereka telah bulat, teman yang kini menuju kota itu harus dibunuh saat ia tiba kembali ke dalam hutan ini.

Maka terjadilah!!! Ketika sang teman datang membawa makanan serta beberapa alat yang dibelinya dari kota, ia dengan segera dibunuh oleh dua teman lain yang menunggu di dalam gua. Setelah itu keduanya duduk berpesta pora menikmati makanan yang baru dibawa itu. Namun apa yang terjadi selanjutnya? Pesta pora kini berubah kelabu. Keduanyapun mati keracunan, dan harta karun yang ada dalam gua tersebut ditinggalkan sebagaimana adanya sejak sedia kala.

Sang pertapa ternyata benar. Harta karun dalam gua tersebut ternyata telah berubah menjadi seumpama singa lapar yang siap menerkam dan membunuh. Ketamakan ternyata adalah suatu kekuatan yang bisa menghancurkan dan mematikan.


Selasa, 22 Maret 2011

Tuhan, Bebanku Berat :'(

"Mengapa bebanku berat sekali?" aku berpikir sambil membanting pintu kamarku dan bersender. "Tidak adakah istirahat dari hidup ini?"
Aku menghempaskan badanku ke ranjang, menutupi telingaku dengan bantal.

"Ya Tuhan," aku menangis, "Biarkan aku tidur...Biarkan aku tidur dan tidak pernah bangun kembali!" Dengan tersedu-sedu, aku mencoba untuk meyakinkan diriku untuk melupakan.

Tiba-tiba gelap mulai menguasai pandanganku, Lalu, suatu cahaya yang sangat bersinar mengelilingiku ketika aku mulai sadar. Aku memusatkan perhatianku pada sumber cahaya itu. Sesosok pria berdiri di depan salib. "Anakku," orang itu bertanya, "Mengapa engkau datang kepada-Ku sebelum Aku siap memanggilmu?"

"Tuhan,aku mohon ampun. Ini karena aku tdk bisa melanjutkannya.
Kau lihat! betapa berat hidupku. Lihat beban berat dipunggungku. Aku bahkan tidak bisa mengangkatnya lagi."

"Tetapi, bukankah Aku pernah bersabda kepadamu untuk datang kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat, karena Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."

"aku tahu Engkau pasti akan mengatakan hal itu. Tetapi kenapa bebanku begitu berat?"

"Anak-Ku, setiap orang di dunia memiliki beban. Mungkin kau ingin mencoba salib yang lain?"

"aku bisa melakukan hal itu?"

Ia menunjuk beberapa salib yang berada di depan kaki-Nya. Kau bisa mencoba semua ini. Semua salib itu berukuran sama. Tetapi setiap salib tertera nama orang yang memikulnya.

"Itu punya Joan," kataku.
Joan menikah dengan seorang kaya raya. Ia tinggal di lingkungan yang nyaman dan memiliki 3 anak perempuan yang cantik dengan pakaian yang bagus-bagus. Kadangkala ia menyetir sendiri ke gereja dengan mobil Cadillac suaminya kalau mobilnya rusak. "Umm, aku coba punya Joan. Sepertinya hidupnya tenang-tenang saja. Seberat apa beban yang Joan panggul?" pikirku.

Tuhan melepaskan bebanku dan meletakkan beban Joan di pundakku. Aku langsung terjatuh seketika. "Lepaskan beban ini!" teriakku.
"Apa yang menyebabkan beban ini sangat berat?" "Lihat ke dalamnya."

Aku membuka ikatan beban itu dan membukanya.
Di dalamnya terdapat gambaran ibu mertua Joan, dan ketika aku mengangkatnya, ibu mertua Joan mulai berbicara,
"Joan, kau tidak pantas untuk anakku, tidak akan pernah pantas. Ia tidak seharusnya menikah denganmu. Kau adalah wanita yang terburuk untuk cucu-cucuku..."

Aku segera meletakkan gambaran itu dan mengangkat gambaran yang lain. Itu adalah Donna, adik terkecil Joan. Kepala Donna dibalut sejak operasi epilepsi yang gagal itu. Gambaran yang ketiga adalah adik laki-laki Joan. Ia kecanduan narkoba,telah dijatuhi hukuman karena membunuh seorang perwira polisi.

"aku tahu sekarang mengapa bebannya sangat berat, Tuhan. Tetapi ia selalu tersenyum dan suka menolong orang lain. Aku tidak menyadarinya..."

"Apakah kau ingin mencoba yang lain?" tanya Tuhan dengan pelan.

Aku mencoba beberapa.

Beban Paula terasa sangat berat juga: Ia melihara 4 orang anak laki-laki tanpa suami. Debra punya juga demikian: masa kecilnya yang dinodai oleh penganiayaan seksual dan menikah karena paksaan. Ketika aku melihat beban Ruth, aku tidak ingin mencobanya. Aku tahu di dalamnya ada penyakit Arthritis, usia lanjut, dan tuntutan bekerja penuh sementara suami tercintanya berada di Panti Jompo.

"Beban mereka semua sangat berat, Tuhan" kataku.
"Kembalikan bebanku"

Ketika aku mulai memasang bebanku kembali, aku merasa bebanku lebih ringan dibandingkan yang lain.

"Mari kita lihat ke dalamnya," Tuhan berkata.

Aku menolak, menggenggam bebanku erat-erat.
"Itu bukan ide yang baik," jawabku,
"Mengapa?"
"Karena banyak sampah di dalamnya."
"Biar Aku lihat"
Suara Tuhan yang lemah lembut membuatku luluh. Aku membuka bebanku. Ia mengambil satu buah batu bata dari dalam bebanku.

"Katakan kepada-Ku mengenai hal ini."
"Tuhan, Engkau tahu itu. Itu adalah uang. Aku tahu kalau kami tidak semenderita seperti orang lain di beberapa Negara atau seperti tuna wisma di sini. Tetapi kami tidak memiliki asuransi, dan ketika anak-anak sakit, kami tidak selalu bisa membawa mereka ke dokter. Mereka bahkan belum pernah pergi ke dokter gigi. Dan aku sedih untuk memberikan mereka pakaian bekas."

"Anak-Ku, Aku selalu memberikan kebutuhanmu dan semua anak-anakmu. Aku selalu memberikan mereka badan yang sehat. Aku mengajari mereka bahwa pakaian mewah tidak membuat seorang berharga di mataKu."

Kemudian ia mengambil sebuah gambaran seorang anak laki-laki…
"Dan yang ini?" tanya Tuhan.
"Andrew..." aku menundukkan kepala, merasa malu untuk menyebut anakku sebagai sebuah beban.
"Tetapi, Tuhan, ia sangat hiperaktif. Ia tidak bisa diam seperti yang lain, ia bahkan membuatku sangat kelelahan. Ia selalu terluka, dan orang lain yang membalutnya berpikir akulah yang menganiayanya. Aku berteriak kepadanya selalu. Mungkin suatu saat aku benar-benar menyakitinya..."

"Anak-Ku," Tuhan berkata.
"Jika kau percayakan kepada-Ku,aku akan memperbaharui kekuatanmu, dan jika engkau mengijinkan Aku untuk mengisimu dengan ROH KUDUS, aku akan memberikan engkau kesabaran."

kemudian Ia mengambil beberapa kerikil dari bebanku.
"Ya, Tuhan.." aku berkata sambil menarik nafas panjang.
"Kerikil-kerikil itu memang kecil. Tetapi semua itu adalah penting. Aku membenci rambutku. Rambutku tipis, dan aku tidak bisa membuatnya kelihatan bagus. Aku tidak mampu untuk pergi ke salon. Aku kegemukan dan tidak bisa menjalankan diet. Aku benci semua pakaianku. Aku benci penampilanku!"

"Anak-Ku, orang memang melihat engkau dari penampilan luar, tetapi Aku melihat jauh sampai ke dalamnya hatimu. Dengan ROH KUDUS, kau akan memperoleh pengendalian diri untuk menurunkan berat badanmu. Tetapi keindahanmu tidak harus datang dari luar. Bahkan seharusnya berasal dari dalam hatimu, kecantikan diri yang tidak akan pernah hilang dimakan waktu. Itulah yang berharga di mata-Ku."

Bebanku sekarang tampaknya lebih ringan dari sebelumnya.
"Aku pikir aku bisa menghadapinya sekarang," kataku,
"Yang terakhir, berikan kepada-Ku batu bata yang terakhir." kata Tuhan.
"Oh, Engkau tidak perlu mengambilnya. Aku bisa mengatasinya."
"Anak-Ku, berikan kepadaKu."

Kembali suara-Nya membuatku luluh. Ia mengulurkan tangan-Nya, dan untuk pertama kalinya Aku melihat luka-Nya.

"Tuhan....Bagaimana dengan tangan-Mu? Tangan-Mu penuh dgn luka?"

Aku tidak lagi memperhatikan bebanku, aku melihat wajah-Nya untuk pertama kalinya. Dan pada dahi-Nya, kulihat luka yang sangat dalam... tampaknya seseorang telah menekan mahkota duri terlalu dalam ke dagingNya.

"Tuhan," aku berbisik.
Mata-Nya yang penuh kasih menyentuh kalbuku.

"AnakKu, kau tahu itu. Berikan kepadaku bebanmu. Itu adalah milikKu. Aku telah membelinya."
"Bagaimana?"
"Dengan darah-Ku"
"Tetapi kenapa Tuhan?"
"Karena aku telah mencintaimu dengan cinta abadi, yang tak akan punah dengan waktu. Berikan kepadaKu."

Aku memberikan bebanku yang kotor dan mengerikan itu ke tangan-Nya yang terluka. Beban itu penuh dengan kotoran dan iblis dalam kehidupanku: kesombongan, egois, depresi yang terus-menerus menyiksaku. Kemudian Ia mengambil salibku kemudian menghempaskan salib itu ke kolam yang berisi dengan darahNya yang kudus. Percikan yang ditimbulkan oleh salib itu luar biasa besarnya.

"Sekarang anak-Ku, kau harus kembali. Aku akan bersamamu selalu. Ketika kau berada dalam masalah, panggillah Aku dan Aku akan membantumu dan menunjukkan hal-hal yang tidak bisa kau bayangkan sekarang."

"Ya, Tuhan, aku akan memanggil-Mu."
Aku mengambil kembali bebanku.

"Kau boleh meninggalkannya di sini jika engkau mau. Kau lihat beban-beban itu? Mereka adalah kepunyaan orang-orang yang telah meninggalkannya di kakiKu, yaitu Joan, Paula, Debra, Ruth... Ketika kau meninggalkan bebanmu di sini, aku akan menggendongnya bersamamu. Ingat, kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."

Seketika aku meletakkan bebanku, cahaya itu mulai menghilang. Namun, masih kudengar suaraNya berbisik,
"Aku tidak akan meninggalkanmu, atau melepaskanmu."

Cerita Sedih di Lampu Merah

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.

Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai, Jack.” Tanpa senyum.

“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”

“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.

Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”

“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”

O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.

“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”

Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.

Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

“Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.

Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.

Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. dari Bob.

Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.



Renungan:
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

Berdoa Bukan Untuk Menang

Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab, memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak meragukan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.

Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang dilipat memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, aku siap!”

Dor!! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing. “Ayo…ayo…cepat…cepat, maju…maju”, begitu teriak mereka. Ahha… sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati “Terima kasih.”

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diberikan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”. Mark terdiam. “Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan” kata Mark.

Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain. Aku , hanya memohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.” Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.




Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Mark, tidaklah memohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark, tak memohon kepada Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya. Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.

Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal, bukanlah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan- Nya, dan panduan-Nya?

Kita sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah.

Push Up

Ada seorang Profesor mata kuliah Religi yang bernama Dr. Christianson yang mengajar di sebuah perguruan tinggi kecil di bagian barat Amerika Serikat.

Dr. Christianson mengajar Kekristenan di perguruan tinggi ini dan setiap siswa semester pertama diwajibkan untuk mengikuti kelas ini. Sekalipun Dr. Christianson berusaha keras menyampaikan intisari Injil kepada kelasnya, ia menemukan bahwa kebanyakan siswanya memandang materi yang diajarnya sebagai suatu kegiatan yang membosankan. Meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin, kebanyakan siswa menolak untuk menanggapi Kekristenan secara serius.

Tahun ini, Dr. Christianson mempunyai seorang siswa yang spesial yang bernama Steve. Steve belajar dengan tujuan untuk melanjutkan studinya ke seminari dan memiliki kerinduan yang besar untuk masuk ke dalam pelayanan.
Steve seorang yang populer, ia disukai banyak orang, dan seorang atlet yang memiliki fisik yang prima dan ia merupakan siswa terbaik di kelas professor itu.

Suatu hari Dr Christianson meminta Steve untuk tidak langsung pulang
setelah kuliah karena ia mau berbicara kepadanya. "Berapa push up yang bisa kamu lakukan?" Steve menjawab, "Saya melakukan sekitar 200 setiap malam."
"200? Lumayan itu, Steve," Dr. Christianson melanjutkan. "Apakah kamu dapat melakukan 300?" Steve menjawab, "Saya tidak tahu. Saya tidak pernah melakukan 300 sekaligus."
"Apakah kamu pikir kamu dapat melakukannya? " tanya Dr.Christianson. "Ok, saya bisa coba," jawab Steve.
"Saya mempunyai satu proyek di kelas dan saya memerlukan kamu untuk melakukan 10 push up setiap kali, tapi sebanyak 30 kali, jadi totalnya 300.
Dapatkah kamu melakukannya? " tanya sang profesor.
Steve menjawab, "Baiklah, saya pikir saya bisa. Ok, saya akan melakukannya.

Dr Christianson berkata, "Bagus sekali! Saya memerlukan Anda untuk
melakukannya Jumat ini."
Dr Christianson kemudian menjelaskan kepada Steve apa yang ia rencanakan untuk kelas mereka pada Jumat itu.

Pada hari Jumat, Steve datang awal ke kelas dan duduk di bagian depan kelas. Saat kelas akan dimulai, sang profesor mengeluarkan satu kotak besar donat. Bukan donat biasa tetapi yang besar dengan krim ditengahnya. Setiap orang sangat bersemangat karena kelas itu merupakan kelas terakhir pada hari itu dan mereka bisa menikmati akhir pekan setelah pesta di kelas Dr. Christianson.

Dr. Christianson pergi ke baris pertama dan bertanya, "Cynthia, apakah kamu mau salah satu dari donat ini?" Cynthia menjawab, "Ya". Dr. Christianson lalu berpaling kepada Steve, "Steve, apakah kamu mau melakukan 10 push up agar Cynthia bisa mendapatkan donut ini?" "Tentu saja!" Steve lalu melompat ke lantai dan dengan cepat melakukan 10 push up. Lalu Steve kembali ke tempat duduknya. Dr.Christianson meletakkan satu donat di meja Cynthia.

Dr. Christianson lalu pergi siswa selanjutnya, dan bertanya, "Joe, apakah kamu mau satu donat?" Joe berkata, "Ya." Dr. Christianson bertanya, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up supaya Joe bisa mendapatkan donatnya?" Steve melakukan 10 push up, dan Joe mendapatkan donatnya. Begitulah selanjutnya di baris yang pertama. Steve melakukan 10 push up untuk setiap orang sebelum mereka mendapatkan donat mereka. Di baris yang kedua, Dr. Christianson berhadapan dengan Scott. Scott seorang pemain basket, dan
fisiknya sekuat Steve. Ia juga seorang yang sangat popular dan punya banyak teman wanita.

Saat profesor bertanya, "Scott apakah kamu mau donut?" Jawaban Scott adalah, "Baiklah, bisakah saya melakukan push up saya sendiri?" Dr. Christianson berkata, "Tidak, Steve yang harus melakukannya. " Lalu Scott berkata, "Kalau begitu, saya tidak mau donatnya." Dr. Christianson mengangkat bahunya dan berpaling kepada Steve dan meminta, "Steve, apakah kamu mau melakukan 10
push up agar Scott bisa mendapatkan donat yang tidak ia kehendaki?"
Dengan ketaatan yang sempurna Steven mulai melakukan 10 push up. Scott berteriak, "HEI! Saya sudah berkata, saya tidak menginginkannya! " Dr Christianson berkata, "Dengar! Ini kelas saya dan semua ini donat saya. Biarkan saja di atas meja jika kamu tidak menginginkannya. " Ia lalu menempatkan satu donat di atas meja Scott.

Saat itu Steve sudah mulai melakukan push up dengan agak perlahan. Ia hanya duduk di lantai saja karena terlalu capek untuk kembali ke tempat duduknya. Ia mulai berkeringat. Dr. Christianson mulai di baris ketiga. Para siswa mulai marah. Dr Christianson bertanya kepada Jenny, "Jenny, apakah kamu menginginkan donat ini?" Dengan tegas Jenny menjawab, "Tidak." Lalu Dr.Christianson bertanya Steve, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up lagi agar Jenny bisa mendapatkan donat yang tidak ia inginkan?"

Steve melakukan 10 push up dan Jenny mendapatkan satu donat. Ruang kelas sudah mulai dipenuhi oleh rasa tidak nyaman. Para siswa sudah mulai berkata,"Tidak! " dan semua donat dibiarkan di atas meja tanpa ada yang memakannya. Steve sudah kelelahan dan harus berusaha keras untuk tetap terus melakukan push up untuk setiap donat itu. Lantai tempat ia melakukan push up sudah dibasahi keringatnya dan lengannya sudah mulai kemerahan. Dr. Christianson bertanya kepada Robert, seorang ateis yang paling lantang suaranya kalau berdebat di kelas, apakah ia mau membantu untuk memastikan
bahwa Steve tidak curang dan tetap melakukan 10 push up untuk setiap donat karena dia sendiri sudah tidak sanggup melihat Steve melakukan push upnya.

Dr. Christianson sudah sampai ke baris keempat sekarang. Dan beberapa siswa dari kelas yang lain juga sudah mulai bergabung di kelas itu. Mereka duduk di tangga. Saat profesor menghitung kembali, ternyata ada 34 siswa sekarang di kelas. Ia mulai khawatir apakah Steve dapat melakukannya. Dr. Christianson melanjutkan dari satu siswa ke siswa selanjutnya sampai ke akhir baris itu. Dan Steve sudah mulai bergumul. Ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan push up-nya. Steve bertanya kepada Dr.Christianson, "Apakah hidung saya harus menyentuh lantai untuk setiap push up yang saya lakukan?" Dr.Christianson berpikir sejenak dan berkata, "Kamu yang melakukan push up. Jadi terserah kamu. Kamu yang pegang kendali. Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau." Dan Dr. Christianson melanjutkan ke siswa yang selanjutnya.

Beberapa saat kemudian, Jason, seorang siswa dari kelas lain dengan santai mau masuk ke kelas, dan sebelum ia melangkahi masuk, seluruh kelas berteriak serentak, "JANGAN! Jangan masuk! Kamu berdiri di luar saja!" Jason kaget karena ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Steve mengangkat kepalanya dan berkata, "Tidak, biarkan dia masuk." Professor Christianson berkata,"Apakah kamu sadar bahwa jika Jason masuk, kamu harus melakukan 10 push up untuk dia?"
Steve berkata, "Ya, biarkan dia masuk. Berikan donat kepadanya."
Dr.Christianson berkata, "Ok Steve. Jason, kamu mau donut?" Jason yang baru masuk ke kelas dan tidak tahu apa-apa menjawab, "Ya, tentu saja, berikan saya donat." Steve melakukan 10 push up dengan sangat perlahan dan bersusah payah. Jason yang kebingungan diberikan satu donat.

Dr. Christianson sudah selesai dengan baris keempat dan mulai ke tempat siswa-siswa dari kelas lain yang duduk di tangga. Tangan Steve sudah mulai gemetaran dan ia harus bergumul untuk mengangkat dirinya melawan tarikan gravitasi. Di waktu ini, keringatnya bercucuran, dan tidak kedengaran apa-apa kecuali bunyi nafasnya yang kencang. Mata setiap orang di kelas itu mulai basah. Dua siswa terakhir adalah dua siswa perempuan yang sangat popular,
Linda dan Susan.

Dr. Christianson pergi ke Linda, "Linda, apakah kamu mau donat?" Linda dengan sedih berkata, "Tidak, terima kasih." Professor Christianson dengan perlahan bertanya, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up supaya Linda bisa mendapatkan donat yang tidak ia inginkan?" Dengan pergumulan yang berat, Steve dengan perlahan melakukan push-up untuk Linda. Lalu Dr. Christianson berpaling kepada siswa yang terakhir, Susan. "Susan, kamu mau donat ini?" Susan dengan air mata yang berlinangan di pipinya mulai
menangis, "Dr Christianson, mengapa saya tidak boleh membantunya? "

Dengan mata yang berkaca-kaca Dr. Christianson berkata, "Tidak, Steve harus melakukannya sendiri. Saya telah memberinya tugas itu dan ia bertanggungjawab untuk memastikan setiap orang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan donat, tidak peduli apakah mereka menginginkannya atau tidak. Di kelas ini hanya Steve yang mempunyai nilai yang sempurna. Setiap orang telah gagal dalam ujian mereka, entah karena bolos kelas atau menyelesaikan tugas di bawah standar. Steve memberitahu saya bahwa pada saat latihan football, ketika seorang pemain melakukan kesalahan, pemain itu harus melakukan push up. Saya memberitahu Steve bahwa tidak ada seorang pun dari kalian yang boleh datang ke pesta saya kecuali Steve bersedia membayar harga dengan melakukan push up bagi kalian."

"Steve, maukah kamu membuat 10 push up supaya Susan bisa mendapatkan donat?" Steve dengan sangat perlahan melakukan 10 push up yang terakhirnya. Ia tahu ia sudah menyelesaikan semua yang harus dia lakukan. Secara total, Steve telah melakukan 350 push up, tangannya tidak tahan lagi dan ia jatuh tersungkur ke lantai.

Dr. Christianson lalu berpaling ke kelas dan berkata, "Dan, demikianlah, Juru Selamat kita, YESUS KRISTUS, di atas kayu salib, Ia telah melakukan semua yang harus dilakukanNya untuk menyelamatkan kita. Ia menyerahkan semuanya. Dan sama seperti kalian yang ada di ruangan ini, ada begitu banyak orang yang membiarkan hadiah itu begitu saja di atas meja, sama sekali tidak disentuh."

Profesor berkata, "Harapan saya adalah kalian dapat memahami dan sepenuhnya mengerti akan semua kekayaan kasih karunia dan
rahmat yang telah diberikan kepada kalian lewat pengorbanan YESUS KRISTUS.
Allah menyerahkan PUTRA TUNGGALNYA untuk kita semua. Entah kita memilih untuk menerima atau menolak karunia-Nya, satu hal yang pasti: harganya sudah lunas dibayar."

"Apakah kita akan menjadi orang yang bodoh dan yang tidak bersyukur dengan meninggalkan hadiah itu di atas meja?"

Karena Aku Adalah Sebatang Pensil

Aku hanyalah sebatang pensil di tangan Tuhan
Biarlah pensil ini dipakai Tuhan
Untuk menuliskan apapun yang IA kehendaki

Karna aku adalah sebatang pensil
Maka hanya kebaikan Tuhan yang akan kutuliskan
Hanya kebajikan Tuhan yang akan kugoreskan

Di tengah dunia yang penuh kejahatan
Aku akan menuliskan kasihMU Tuhan
Di tengah dunia yang begitu menakutkan
Aku akan menuliskan FirmanMU yang menguatkan

Di tengah kesedihan manusia yang berlinang air mata
Aku akan menuliskan penghiburan yang dari Firman
Di tengah kekecewaan manusia yang tanpa pengharapan
Aku akan menuliskan segala kebaikan Tuhan

Apa yang bisa dilakukan sebuah pensil ?
Hanya menulis dan menulis
Menulis dan terus menulis
Aku tidak akan berhenti menulis
Aku akan terus menulis dan menulis

Di tengah amukan deru ombak kejahatan
Aku akan menuliskan cinta dan kasih Tuhan
Di tengah badai yang bergelora
Aku akan menuliskan pertolongan Tuhan

Aku bertekad menuliskan kebaikan Tuhan untuk hati yang keras
Aku bertekad menuliskan pengharapan bagi yang putus asa
Aku bertekad menuliskan penghiburan bagi yang dalam kesedihan

Satu hal yang paling aku takutkan
Melewati sehari tanpa menuliskan kebaikan Tuhan
Satu hal yang tidak boleh kulakukan
Melupakan dan mengabaikan kebaikan Tuhan

Hidupku sudah bagaikan sebuah pensil
Pensil yang tak akan lekang dimakan waktu
Pensil yang akan terus berkarya di sepanjang masa
Tanpa mengenal lelah
Tanpa dipengaruhi waktu dan masa
Tulisanku akan tetap ada

Rabu, 12 Januari 2011

Resensi buku terbaru, terbitan 2010


Judul Buku: Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru
Penulis: Eep Saefulloh Fatah
Penerbit: Burungmerak Press, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xix + 402 halaman

KEKUASAAN dan sengketa politik serupa dua sisi sekeping koin. Tamsil itu bukan kenyataan kekuasaan ideal, tapi demikian realitas yang terjadi. Bahkan, tikai politik dianggap identik dengan kekuasaan. Tiada kekuasaan tanpa ketegangan politik dan tak ada konflik politik tanpa tujuan kekuasaan.

Sengketa politik merupakan pengalaman yang memberikan pelajaran nyata. Kadar mutu pelajaran yang diperoleh dari pengalaman itu bergantung pada sejauh mana mendalami dan memahaminya.

Buku ini mengelola pengalaman itu secara ketat-kritis melalui alat-alat teoretis-akademis sehingga keilmiahannya bisa dipertanggungjawabkan dan bisa diuji bersama. Buku ini berisi uraian cerita dan analisis teoretis tiga sengketa politik pada masa kekuasaan negara Orde Baru: Malari (1974), Petisi 50 (1980), dan Peristiwa Tanjung Priok (1984).

Tiga konflik politik itu terdeskripsikan kronologis dan anatominya serupa cerita yang dilengkapi bagan dan peta tempat peristiwa serta dokumen mengenainya. Semua itu diteropong serta dirumuskan melalui teori Nicos Poulantzas dan teori Peter Evans.

Poulantzas dan Evans adalah dua pemikir negara berkembang setelah Perang Dunia II. Poulantzas menolak negara instrumentalis model marxis ortodoks dan menawarkan model negara-organis. Sedangkan Evans menggagas negara struktural. Bagi Evans, dominasi negara merupakan persekutuan negara dan borjuasi nasional yang melibatkan faktor modal asing.

Bagaimanakah gambaran tiga peristiwa konflik politik itu?

Gerakan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) merupakan aksi mahasiswa dan massa menolak lawatan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Aksi itu menimbulkan huru-hara dan perusakan-perusakan fisik berskala luas di Jakarta yang mengakibatkan kematian belasan orang dan penangkapan ratusan tokoh oleh tentara. Aksi tersebut, antara lain, didasari antidominasi modal asing (terutama Jepang), pemusatan sumber ekonomi penting di tangan militer, dan marginalisasi masyarakat. Aksi itu merupakan klimaks perbenturan kritisisme masyarakat dengan kinerja ekonomi dan politik negara.

Dampak sosial terbesar dari Malari adalah penodaan citra dan peran politik mahasiswa dan massa sehingga diberlakukan depolitisasi dalam bermasyarakat dan bernegara serta pemberedelan beberapa media massa akibat pemberitaan peristiwa itu.

Peristiwa Petisi 50 bermula dari ”Pernyataan Keprihatinan” yang ditandatangani 50 tokoh terkemuka yang menanggapi, mengkritik, dan menggugat pidato tanpa teks Presiden Soeharto saat Rapim ABRI di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan sambutan Presiden Soeharto pada Hari Ulang Tahun KOPASSANDHA di Cijanjung, Jakarta, 16 April 1980. ”Pernyataan keprihatinan” itu juga mendesak para pejabat DPR dan MPR menanggapi pidato-pidato presiden tersebut. Akibatnya, para penanda tangan Petisi 50 mengalami ”represi halus”, misalnya pencabutan hak-hak sosial-ekonomi mereka.

Para penanda tangan Petisi 50 berasal dari kalangan nasionalis, agama, dan ABRI (kini TNI, Red). Peristiwa Petisi 50 membuat antarelite yang berpengaruh di masyarakat berkonfrontasi dan menumbuhkan ”oposisi terorganisasi” yang sebelumnya belum mengemuka.

Pada 12 September 1984, terjadi kerusuhan dan kekerasan bersenjata dalam Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa itu melibatkan massa dan tentara yang menimbulkan kematian, penangkapan, dan kerusakan infrastruktur di sekitar Tanjung Priok. Konflik itu tersulut kegalauan umat Islam akibat negara mencanangkan asas tunggal Pancasila sebagai ideologi formal. Konflik tersebut juga terpicu situasi marginal masyarakat Tanjung Priok secara sosial-ekonomi.

Setelah peristiwa itu, Orde Baru mengabaikan eksistensi ideologi informal dan mewajibkan organisasi masyarakat dan organisasi sosial-politik menganut asas tunggal Pancasila. Juga, terjadi depolitisasi, institusionalisasi, dan de-ideologisasi demi memantapkan rezimentasi negara Orde Baru.

Buku ini merupakan studi yang menunjukkan pola, arah, dan efektivitas manajemen konflik politik negara Orde Baru menghadapi tiga sengketa politik itu. Singkatnya, negara Orde Baru melakukan ”dis-manajemen”. Negara Orde Baru membuat konsensus politik semu dan ”pelatenan” politik dalam mengelola konflik-konflik politik itu. Dampak-dampak konflik politik tersebut ditekan ke bawah permukaan oleh negara.

Faktor-faktor yang melatari model manajemen konflik politik itu, antara lain, negara yang hegemonik-otoriter, memaksimalkan peran aparatur negara yang represif, melemahkan borjuasi nasional, dan melakukan alienasi politik.

Foto peristiwa dan tokoh/pelaku konflik-konflik politik itu bisa memperlengkap bahan kesejarahan dan lebih menghidupkan ingatan pada tiga konflik politik tersebut, tapi sayang tak tersaji dalam buku ini. Mengapa hanya mengungkap tiga peristiwa konflik politik itu?

Semasa Orde Baru, ada peristiwa konflik politik lain, seperti Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Anwar Warsidi di Lampung, gerakan separatisme di Aceh yang memunculkan DOM (Daerah Operasi Militer), maupun peristiwa Santa Cruz di Timor-Timur.

Tujuan buku ini bukan membuka luka lama atau mengungkit-ungkit peristiwa tragis di masa lalu. Kehadiran buku ini menjaga ingatan kolektif agar konflik-konflik politik di masa silam tak terulang dan memberikan kedalaman pemahaman terhadapnya agar masa depan tak lagi dirundung tragedi serupa. Ingatan dan pemahaman itu menjadi modal merumuskan cara menghadapi dan menangani konflik politik yang lebih demokratis. Bukankah salah satu hakikat demokrasi adalah mengelola ketegangan-ketegangan politik?

REALITA KEHIDUPAN ANAK JALANAN



Anak jalanan adalah yang sebagian besar menhabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan atau di tempat-tempat umum lainnya. Rentang usia anak jalanan yaitu berkisar 4 sampai 18 tahun, anak jalanan mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Cirri fisik : Warna kulit kusam, pakaian lusuh dan tidak terurus, rambut kusam, dan kondisi badan tidak memungkinkan.
2. Ciri Psikis : Acuh tak acuh, mobilitas tinggi, sensitive, semangat hidup tingi,Berwatak keras, berani menanggung resiko dan mandiri.
Jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun di Negara ini semakin membumi hampir di setiap kota-kota. Mereka mencari nafkah dengan cara mengemis, mengamen, berdagang asongan, menyewakan paying, sampai mencari baran rongsokan. Mereka tinggal 24 jam setiap hari di jalanan dan menggunakan semua fasilitas jalanan sebagai ruan hidupnya. Mereka hidup dimana saja, di jalanan dan tempat-tempat umum seperti terminal, stasiun, pasar, taman, dan sebagainya kelompok ini biasanya membangun sub struktur untuk mempertahankan hidupnya mereka saling berhubungan erat dan saling menolong satu sama lain. Kurangnya pendampingan membuat perilaku yang dikembangkannya lebih banyak bertentangan dengan menerima yang ada. Hal ini tampak dari sikap mereka yang cenderung liar, cuek, tertutup, tidak tergantung dan bebas.
Sebagai makhluk social, anak jalanan juga melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi ini melibatkanhubungan resprokal di mana tingkah laku anak jalanan akan mendapatkan reaksi dari lingkungan tersebut demikian sebaliknya pada kenyataan perlu kita perhatikan akan terlihat bahwa ternyata anak jalanan telah membentuk komunitas sendiri yan berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Hidup berkelompok memiliki jaringan kerja sendiri, peraturan yang di sepakati, norma-norma tersendiri, yang cenderung memisahkan diri dari kelompok yang lainnya. Terutama dengan masyarakat, merupakan karakteristik yang khas dari anak jalanan. Tempat tinggal mereka biasanya berada dalam suatu lokasi tertentudan juga erdapat kelompok masyarakat (lumpen) seperti gelandangan, pengemis, pengamen serta kaum miskin kota lainnya.
Anak jalanan tetaplah bagian realita yang ada di masyarakat kita. Kita tidak bisa menutup mata dari keberadaan mereka. Tapi apakah kita hanya akan menutup mata dan membiarkan hal ini terus berkembang ? kehadiran anak jalanan yang semakin meningkat seharusnya menjadi sebuah refleksi pemerintah untuk mencari jalan keluar bagi mereka.

Budaya Facebook di Kalangan Mahasiswa

Di jaman sekarang ini, Facebook mungkin bukan hal yang asing lagi. Ya kali ini saya akan sedikit membahas masalah budaya situs jejaring sosial yang satu ini dikalangan mahasiswa, lagi – lagi sebagai tugas softskill kampus
Logika sederhananya begini: jika tulisan si A dimuat, minimal A akan membeli koran yang memuat tulisannya, entah untuk alasan prestise atau kebutuhan database. Wilayah sosial si A pun biasanya juga akan membeli, minimal membaca. Bisa karena masih ada kaitan hubungan kekerabatan, teman kerja, relasi organisasi, pengagum, mahasiswanya—kalau ia dosen, dan seterusnya.

Kenyataan ini membawa tiga tafsir: Pertama, media hari ini lebih memberikan ruang bagi mahasiswa untuk menegaskan keberadaannya lewat tulisan. Menyediakan tandon atau penampung bagi kegundahan dan keresahan yang tengah dialami. Suara, ide-ide, cinta cita generasi muda didengar. Tentu saja ini sangat positif, lebih-lebih terjadi pada saat mahasiswa mengalami ancaman lost generation, dan kesepian.

Tafsir kedua, aktivitas keberaksaraan mahasiswa yang kian meningkat. Berupa kesadaran pentingnya membaca (buku). Mengapa? Karena sebelum sampai pada aktivitas menulis, terlebih dahulu harus membaca. Kalau tidak membaca, lalu apa yang akan ditulis? Dan membaca yang efektif adalah membaca yang disertai pula dengan keinginan untuk menceritakan kembali, baik dengan lisan maupun tulisan.

Tafsir ketiga, sebenarnya ini bagian dari strategi dagang juga. Bagian dari upaya mengikat konsumen yang sudah mapan sekaligus ekspansi atau perluasan pasar. Tidak ada yang salah dengan logika demikian. Hanya saja, teramat sayang jika banyak mahasiswa lebih memilih menjadi penonton atau konsumen akhir yang ndlohom, diam, anteng, tidak berdaya. Menuruti kehendak produsen tanpa ada upaya untuk ambil bagian dalam bisnis content, yaitu ikut mengisi koran dengan menulis artikel.

Saya kok yakin sekali bahwa rubrik opini (tulisan artikel) tidak akan hilang selama media tersebut terus terbit. Bahkan kecenderungan pemberian fasilitasi kepada penulis pemula (mahasiswa) untuk mempublikasikan tulisannya akan diikuti oleh koran-koran lainnya. Jadi, tidak salah kalau dikatakan artikel adalah solusi cerdas memertemukan dua kepentingan, yaitu kepentingan bisnis dan sosial.
Tak hanya komputer, di era kemenangan teknologi informasi sekarang ini, telah tersedia pula fasilitas bernama internet. Dalam hitungan detik, kita sudah bisa mendapatkan berbagai informasi penting yang dibutuhkan.