Rabu, 06 April 2011

Tuhan Merajut Kehidupanmu


Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.

Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut:

“Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.”

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu Semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil; ” anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu. “

Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.

Kemudian ibu berkata:”Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya.

Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan.”

Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Tuhan; “Tuhan, apa yang Engkau lakukan? ”

Ia menjawab: ” Aku sedang menyulam kehidupanmu.”

Dan aku membantah,” Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah?”

Kemudian Tuhan menjawab,” Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu. Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke surga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang selalu indah2 untukmu .”

Mengejar Bayangan

Seorang anak kecil bercucuran keringat. Ia telah berusaha cukup lama berlari dan terus berlari. Ia ingin mengalahkan sesuatu di depannya, ia ingin melampaui bayangannya sendiri. Namun semakin ia kejar, semakin yang dikejar itu menjauh mendahuluinya. Tak peduli berapa jauh ia mengejar, berapa cepat ia berlari, bayangannya selalu tetap saja berada di depannya, pada hal ia kini sudah kehabisan tenaga.

Akhirnya orangtuanya tahu juga apa yang sedang diperbuat anaknya. Sang ibu dengan penuh kasih memberikan sebuah nasihat yang amat sederhana; 'Anakku sayang! Hanya ada satu tindakan sederhana yang perlu engkau perbuat untuk mengalahkan bayanganmu, yakni berjalan menghadap matahari. Karena dengan itu bayanganmu pasti akan berada di belakangmu. Hanya dengan itu engkau menjadi pemenangnya'.



Anda mungkin pernah atau sedang berusaha sekuat tenaga untuk melampaui suatu 'bayangan' tertentu. Mungkin anda berhadapan dengan problema pekerjaan, studi, atau masalah perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Bila saat itu datang, mari kita berdiri menghadap Sang Matahari abadi yang memancar dalam setiap hati. Yesus, adalah Matahari sejati kita. Seperti matahari yang terbit menyinari kita...seperti itulah janji Tuhan.

Segala rintangan tak akan menghadap kita, tetapi kita akan melaluinya dan kita akan melewatinya ketika kita berjalan menuju kepadaNya.

Gbu

Ingatlah disaat...

Disaat kamu ingin melepaskan seseorang..ingatlah pada saat kamu ingin mendapatkannya

Disaat kamu mulai tidak mencintainya…ingatlah saat pertama kamu jatuh cinta padanya

Disaat kamu mulai bosan dengannya…ingatlah selalu saat terindah bersamanya

Disaat kamu ingin menduakannya…bayangkan jika dia selalu setia

Saat kamu ingin membohonginya…ingatlah disaat dia jujur padamu

Maka kamu akan merasakan arti dia untukmu

Jangan sampai disaat dia sudah tidak disisimu,

Kamu baru menyadari semua arti dirinya untukmu

Yang indah hanya sementara

Yang abadi adalah kenangan

Yang ikhlas hanya dari hati

Yang tulus hanya dari sanubari

Tidak mudah mencari yang hilang

Tidak mudah mengejar impian

Namun yg lebih susah mempertahankan yg ada

Karena walaupun tergenggam bisa terlepas juga

Ingatlah pada pepatah,

“Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai, maka sukailah apa yang kamu miliki saat ini”

Belajar menerima apa adanya dan berpikir positif….

Hidup bagaikan mimpi, seindah apapun, begitu bangun semuanya sirna tak berbekas

Rumah mewah bagai istana, harta benda yang tak terhitung, kedudukan, dan jabatan yg luar biasa, namun…

Ketika nafas terakhir tiba, sebatang jarum pun tak bisa dibawa pergi

Sehelai benang pun tak bisa dimiliki

Apalagi yang mau diperebutkan

Apalagi yang mau disombongkan

Maka jalanilah hidup ini dengan penuh rasa syukur

Jangan terlalu perhitungan

Jangan hanya mau menang sendiri

Jangan suka sakiti sesama apalagi terhadap mereka yang berjasa bagi kita

Belajarlah tiada hari tanpa kasih

Selalu berlapang dada dan mengalah
Hidup ceria, bebas leluasa…

Tak ada sakit hati yang tak bisa dimaafkan
Tak ada dendam yang tak bisa terhapus….

God Bless..

Harta Karun dan Ketamakan

Ada sebuah kisah tua yang telah beredar menembusi batas budaya dan telah diceritakan berulang kali. Dikisahkan, seorang pertapa tua, dalam perjalanan meditasinya menembusi hutan belantara, ia menemukan sebuah gua batu yang di dalamnya penuh berisikan harta karun.

Sang pertapa yang tidak hanya tua tetapi juga bijaksana ini setelah melihat apa yang ada dalam gua tersebut serentak menyingsingkan sarung pertapaannya dan mengambil langkah seribu, berlari sekuat tenaga meninggalkan gua yang penuh harta karun tersebut. Namun di tengah jalan ia berpapasan dengan tiga serdadu yang nampak keheranan menyaksikan sang pertapa tua yang sedang ketakutan tersebut. Ketiga serdadu tersebut menghentikannya dan menanyakan alasan yang membuatnya kelihatan tersebut.

"Saya melarikan diri dari kejaran segerombolan setan," jawab sang pertapa.

Didorong oleh rasa ingin tahu yang amat mendalam, ketiga serdadu itu mendesak, "Tunjukan hal itu kepada kami."

Sambil memberontak dan protes keras, sang pertapa tua membawa ketiga serdadu itu menuju gua harta karun yang baru saja ditemukannya.

"Lihatlah!" kata sang pertapa, "Inilah setan, sang kematian yang sedang mengejar diriku."

Ketiga serdadu itu saling memandang dan merasa bahwa sang pertapa tua itu adalah seorang yang amat bodoh dan sedang dirasuki setan. Karena itu mereka melepaskannya untuk meneruskan perjalanannya. Kini mereka bersorak atas apa yang baru saja mereka temukan, dan memutuskan bahwa salah satu di antara mereka harus kembali ke kota untuk membeli bahan makanan yang cukup serta membawa alat-alat untuk menggali dan menumpulkan harta karun tersebut, sedangkan dua yang lain akan menunggu dan menjaga dalam gua sehingga harta karun tersebut tidak jatuh ke tangan orang lain.

Salah satu di antara mereka menawarkan diri untuk menuju kota. Dalam perjalanannya ke kota ia mulai merancang suatu aksi yang akan dibuatnya agar harta karun dalam gua itu sepenuhnya menjadi miliknya. Apa yang akan dibuatnya? Ia akan meracuni makanan yang akan diberikan kepada kedua temannya. Bila keduanya mati keracunan maka harta karun itu akan menjadi miliknya tanpa harus dibagi-bagi.

Pada saat yang sama kedua serdadu yang menanti dalam gua juga sedang berembuk mencari jalan agar harta karun yang ada hanya dibagikan di antara mereka berdua. Keputusan mereka telah bulat, teman yang kini menuju kota itu harus dibunuh saat ia tiba kembali ke dalam hutan ini.

Maka terjadilah!!! Ketika sang teman datang membawa makanan serta beberapa alat yang dibelinya dari kota, ia dengan segera dibunuh oleh dua teman lain yang menunggu di dalam gua. Setelah itu keduanya duduk berpesta pora menikmati makanan yang baru dibawa itu. Namun apa yang terjadi selanjutnya? Pesta pora kini berubah kelabu. Keduanyapun mati keracunan, dan harta karun yang ada dalam gua tersebut ditinggalkan sebagaimana adanya sejak sedia kala.

Sang pertapa ternyata benar. Harta karun dalam gua tersebut ternyata telah berubah menjadi seumpama singa lapar yang siap menerkam dan membunuh. Ketamakan ternyata adalah suatu kekuatan yang bisa menghancurkan dan mematikan.


Selasa, 22 Maret 2011

Tuhan, Bebanku Berat :'(

"Mengapa bebanku berat sekali?" aku berpikir sambil membanting pintu kamarku dan bersender. "Tidak adakah istirahat dari hidup ini?"
Aku menghempaskan badanku ke ranjang, menutupi telingaku dengan bantal.

"Ya Tuhan," aku menangis, "Biarkan aku tidur...Biarkan aku tidur dan tidak pernah bangun kembali!" Dengan tersedu-sedu, aku mencoba untuk meyakinkan diriku untuk melupakan.

Tiba-tiba gelap mulai menguasai pandanganku, Lalu, suatu cahaya yang sangat bersinar mengelilingiku ketika aku mulai sadar. Aku memusatkan perhatianku pada sumber cahaya itu. Sesosok pria berdiri di depan salib. "Anakku," orang itu bertanya, "Mengapa engkau datang kepada-Ku sebelum Aku siap memanggilmu?"

"Tuhan,aku mohon ampun. Ini karena aku tdk bisa melanjutkannya.
Kau lihat! betapa berat hidupku. Lihat beban berat dipunggungku. Aku bahkan tidak bisa mengangkatnya lagi."

"Tetapi, bukankah Aku pernah bersabda kepadamu untuk datang kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat, karena Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."

"aku tahu Engkau pasti akan mengatakan hal itu. Tetapi kenapa bebanku begitu berat?"

"Anak-Ku, setiap orang di dunia memiliki beban. Mungkin kau ingin mencoba salib yang lain?"

"aku bisa melakukan hal itu?"

Ia menunjuk beberapa salib yang berada di depan kaki-Nya. Kau bisa mencoba semua ini. Semua salib itu berukuran sama. Tetapi setiap salib tertera nama orang yang memikulnya.

"Itu punya Joan," kataku.
Joan menikah dengan seorang kaya raya. Ia tinggal di lingkungan yang nyaman dan memiliki 3 anak perempuan yang cantik dengan pakaian yang bagus-bagus. Kadangkala ia menyetir sendiri ke gereja dengan mobil Cadillac suaminya kalau mobilnya rusak. "Umm, aku coba punya Joan. Sepertinya hidupnya tenang-tenang saja. Seberat apa beban yang Joan panggul?" pikirku.

Tuhan melepaskan bebanku dan meletakkan beban Joan di pundakku. Aku langsung terjatuh seketika. "Lepaskan beban ini!" teriakku.
"Apa yang menyebabkan beban ini sangat berat?" "Lihat ke dalamnya."

Aku membuka ikatan beban itu dan membukanya.
Di dalamnya terdapat gambaran ibu mertua Joan, dan ketika aku mengangkatnya, ibu mertua Joan mulai berbicara,
"Joan, kau tidak pantas untuk anakku, tidak akan pernah pantas. Ia tidak seharusnya menikah denganmu. Kau adalah wanita yang terburuk untuk cucu-cucuku..."

Aku segera meletakkan gambaran itu dan mengangkat gambaran yang lain. Itu adalah Donna, adik terkecil Joan. Kepala Donna dibalut sejak operasi epilepsi yang gagal itu. Gambaran yang ketiga adalah adik laki-laki Joan. Ia kecanduan narkoba,telah dijatuhi hukuman karena membunuh seorang perwira polisi.

"aku tahu sekarang mengapa bebannya sangat berat, Tuhan. Tetapi ia selalu tersenyum dan suka menolong orang lain. Aku tidak menyadarinya..."

"Apakah kau ingin mencoba yang lain?" tanya Tuhan dengan pelan.

Aku mencoba beberapa.

Beban Paula terasa sangat berat juga: Ia melihara 4 orang anak laki-laki tanpa suami. Debra punya juga demikian: masa kecilnya yang dinodai oleh penganiayaan seksual dan menikah karena paksaan. Ketika aku melihat beban Ruth, aku tidak ingin mencobanya. Aku tahu di dalamnya ada penyakit Arthritis, usia lanjut, dan tuntutan bekerja penuh sementara suami tercintanya berada di Panti Jompo.

"Beban mereka semua sangat berat, Tuhan" kataku.
"Kembalikan bebanku"

Ketika aku mulai memasang bebanku kembali, aku merasa bebanku lebih ringan dibandingkan yang lain.

"Mari kita lihat ke dalamnya," Tuhan berkata.

Aku menolak, menggenggam bebanku erat-erat.
"Itu bukan ide yang baik," jawabku,
"Mengapa?"
"Karena banyak sampah di dalamnya."
"Biar Aku lihat"
Suara Tuhan yang lemah lembut membuatku luluh. Aku membuka bebanku. Ia mengambil satu buah batu bata dari dalam bebanku.

"Katakan kepada-Ku mengenai hal ini."
"Tuhan, Engkau tahu itu. Itu adalah uang. Aku tahu kalau kami tidak semenderita seperti orang lain di beberapa Negara atau seperti tuna wisma di sini. Tetapi kami tidak memiliki asuransi, dan ketika anak-anak sakit, kami tidak selalu bisa membawa mereka ke dokter. Mereka bahkan belum pernah pergi ke dokter gigi. Dan aku sedih untuk memberikan mereka pakaian bekas."

"Anak-Ku, Aku selalu memberikan kebutuhanmu dan semua anak-anakmu. Aku selalu memberikan mereka badan yang sehat. Aku mengajari mereka bahwa pakaian mewah tidak membuat seorang berharga di mataKu."

Kemudian ia mengambil sebuah gambaran seorang anak laki-laki…
"Dan yang ini?" tanya Tuhan.
"Andrew..." aku menundukkan kepala, merasa malu untuk menyebut anakku sebagai sebuah beban.
"Tetapi, Tuhan, ia sangat hiperaktif. Ia tidak bisa diam seperti yang lain, ia bahkan membuatku sangat kelelahan. Ia selalu terluka, dan orang lain yang membalutnya berpikir akulah yang menganiayanya. Aku berteriak kepadanya selalu. Mungkin suatu saat aku benar-benar menyakitinya..."

"Anak-Ku," Tuhan berkata.
"Jika kau percayakan kepada-Ku,aku akan memperbaharui kekuatanmu, dan jika engkau mengijinkan Aku untuk mengisimu dengan ROH KUDUS, aku akan memberikan engkau kesabaran."

kemudian Ia mengambil beberapa kerikil dari bebanku.
"Ya, Tuhan.." aku berkata sambil menarik nafas panjang.
"Kerikil-kerikil itu memang kecil. Tetapi semua itu adalah penting. Aku membenci rambutku. Rambutku tipis, dan aku tidak bisa membuatnya kelihatan bagus. Aku tidak mampu untuk pergi ke salon. Aku kegemukan dan tidak bisa menjalankan diet. Aku benci semua pakaianku. Aku benci penampilanku!"

"Anak-Ku, orang memang melihat engkau dari penampilan luar, tetapi Aku melihat jauh sampai ke dalamnya hatimu. Dengan ROH KUDUS, kau akan memperoleh pengendalian diri untuk menurunkan berat badanmu. Tetapi keindahanmu tidak harus datang dari luar. Bahkan seharusnya berasal dari dalam hatimu, kecantikan diri yang tidak akan pernah hilang dimakan waktu. Itulah yang berharga di mata-Ku."

Bebanku sekarang tampaknya lebih ringan dari sebelumnya.
"Aku pikir aku bisa menghadapinya sekarang," kataku,
"Yang terakhir, berikan kepada-Ku batu bata yang terakhir." kata Tuhan.
"Oh, Engkau tidak perlu mengambilnya. Aku bisa mengatasinya."
"Anak-Ku, berikan kepadaKu."

Kembali suara-Nya membuatku luluh. Ia mengulurkan tangan-Nya, dan untuk pertama kalinya Aku melihat luka-Nya.

"Tuhan....Bagaimana dengan tangan-Mu? Tangan-Mu penuh dgn luka?"

Aku tidak lagi memperhatikan bebanku, aku melihat wajah-Nya untuk pertama kalinya. Dan pada dahi-Nya, kulihat luka yang sangat dalam... tampaknya seseorang telah menekan mahkota duri terlalu dalam ke dagingNya.

"Tuhan," aku berbisik.
Mata-Nya yang penuh kasih menyentuh kalbuku.

"AnakKu, kau tahu itu. Berikan kepadaku bebanmu. Itu adalah milikKu. Aku telah membelinya."
"Bagaimana?"
"Dengan darah-Ku"
"Tetapi kenapa Tuhan?"
"Karena aku telah mencintaimu dengan cinta abadi, yang tak akan punah dengan waktu. Berikan kepadaKu."

Aku memberikan bebanku yang kotor dan mengerikan itu ke tangan-Nya yang terluka. Beban itu penuh dengan kotoran dan iblis dalam kehidupanku: kesombongan, egois, depresi yang terus-menerus menyiksaku. Kemudian Ia mengambil salibku kemudian menghempaskan salib itu ke kolam yang berisi dengan darahNya yang kudus. Percikan yang ditimbulkan oleh salib itu luar biasa besarnya.

"Sekarang anak-Ku, kau harus kembali. Aku akan bersamamu selalu. Ketika kau berada dalam masalah, panggillah Aku dan Aku akan membantumu dan menunjukkan hal-hal yang tidak bisa kau bayangkan sekarang."

"Ya, Tuhan, aku akan memanggil-Mu."
Aku mengambil kembali bebanku.

"Kau boleh meninggalkannya di sini jika engkau mau. Kau lihat beban-beban itu? Mereka adalah kepunyaan orang-orang yang telah meninggalkannya di kakiKu, yaitu Joan, Paula, Debra, Ruth... Ketika kau meninggalkan bebanmu di sini, aku akan menggendongnya bersamamu. Ingat, kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan."

Seketika aku meletakkan bebanku, cahaya itu mulai menghilang. Namun, masih kudengar suaraNya berbisik,
"Aku tidak akan meninggalkanmu, atau melepaskanmu."

Cerita Sedih di Lampu Merah

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.

Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai, Jack.” Tanpa senyum.

“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”

“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.

Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”

“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”

O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.

“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”

Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.

Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

“Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.

Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.

Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. dari Bob.

Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.



Renungan:
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.

Berdoa Bukan Untuk Menang

Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab, memang begitulah peraturannya.

Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak meragukan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.

Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.

Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang dilipat memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, aku siap!”

Dor!! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing. “Ayo…ayo…cepat…cepat, maju…maju”, begitu teriak mereka. Ahha… sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati “Terima kasih.”

Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diberikan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”. Mark terdiam. “Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan” kata Mark.

Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain. Aku , hanya memohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.” Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.




Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Mark, tidaklah memohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark, tak memohon kepada Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya. Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.

Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal, bukanlah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan- Nya, dan panduan-Nya?

Kita sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah.