Selasa, 22 Maret 2011
Tuhan, Bebanku Berat :'(
"Mengapa bebanku berat sekali?" aku berpikir sambil membanting pintu kamarku dan bersender. "Tidak adakah istirahat dari hidup ini?"
Cerita Sedih di Lampu Merah
Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.
Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jack.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”
Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.
“Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. dari Bob.
Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
Renungan:
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Jack.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.
Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.
“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”
Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.
Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.
“Halo Jack, Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. dari Bob.
Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
Renungan:
Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
Berdoa Bukan Untuk Menang
Suatu ketika, ada seorang anak yang sedang mengikuti sebuah lomba mobil balap mainan. Suasana sungguh meriah siang itu, sebab, ini adalah babak final. Hanya tersisa 4 orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil mainan yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri, sebab, memang begitulah peraturannya.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak meragukan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.
Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.
Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang dilipat memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, aku siap!”
Dor!! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing. “Ayo…ayo…cepat…cepat, maju…maju”, begitu teriak mereka. Ahha… sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati “Terima kasih.”
Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diberikan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”. Mark terdiam. “Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan” kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain. Aku , hanya memohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.” Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.
Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Mark, tidaklah memohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark, tak memohon kepada Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya. Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.
Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal, bukanlah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan- Nya, dan panduan-Nya?
Kita sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah.
Ada seorang anak bernama Mark. Mobilnya tak istimewa, namun ia termasuk dalam 4 anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya, mobil Mark lah yang paling tak sempurna. Beberapa anak meragukan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil lainnya.
Yah, memang, mobil itu tak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil mainan lainnya. Namun, Mark bangga dengan itu semua, sebab, mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan, telah siap 4 mobil, dengan 4 “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.
Namun, sesaat kemudian, Mark meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam, dengan tangan yang dilipat memanjatkan doa. Lalu, semenit kemudian, ia berkata, “Ya, aku siap!”
Dor!! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak-sorai, bersemangat, menjagokan mobilnya masing-masing. “Ayo…ayo…cepat…cepat, maju…maju”, begitu teriak mereka. Ahha… sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan Mark lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Mark. Ia berucap, dan berkomat-kamit lagi dalam hati “Terima kasih.”
Saat pembagian piala tiba. Mark maju ke depan dengan bangga. Sebelum piala itu diberikan, ketua panitia bertanya. “Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang, bukan?”. Mark terdiam. “Bukan, Pak, bukan itu yang aku panjatkan” kata Mark.
Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya, tak adil untuk meminta pada Tuhan untuk menolongku mengalahkan orang lain. Aku , hanya memohon pada Tuhan, supaya aku tak menangis, jika aku kalah.” Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk-tangan yang memenuhi ruangan.
Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Mark, tidaklah memohon pada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Mark, tak memohon kepada Tuhan untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tak meminta Tuhan mengabulkan semua harapannya. Ia tak berdoa untuk menang, dan menyakiti yang lainnya. Namun, Mark, bermohon pada Tuhan, agar diberikan kekuatan saat menghadapi itu semua. Ia berdoa, agar diberikan kemuliaan, dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.
Mungkin, telah banyak waktu yang kita lakukan untuk berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Terlalu sering juga kita meminta Tuhan untuk menjadikan kita nomor satu, menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian. Terlalu sering kita berdoa pada Tuhan, untuk menghalau setiap halangan dan cobaan yang ada di depan mata. Padahal, bukanlah yang kita butuh adalah bimbingan-Nya, tuntunan- Nya, dan panduan-Nya?
Kita sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui? Saya yakin, Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah.
Push Up
Ada seorang Profesor mata kuliah Religi yang bernama Dr. Christianson yang mengajar di sebuah perguruan tinggi kecil di bagian barat Amerika Serikat.
Dr. Christianson mengajar Kekristenan di perguruan tinggi ini dan setiap siswa semester pertama diwajibkan untuk mengikuti kelas ini. Sekalipun Dr. Christianson berusaha keras menyampaikan intisari Injil kepada kelasnya, ia menemukan bahwa kebanyakan siswanya memandang materi yang diajarnya sebagai suatu kegiatan yang membosankan. Meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin, kebanyakan siswa menolak untuk menanggapi Kekristenan secara serius.
Tahun ini, Dr. Christianson mempunyai seorang siswa yang spesial yang bernama Steve. Steve belajar dengan tujuan untuk melanjutkan studinya ke seminari dan memiliki kerinduan yang besar untuk masuk ke dalam pelayanan.
Steve seorang yang populer, ia disukai banyak orang, dan seorang atlet yang memiliki fisik yang prima dan ia merupakan siswa terbaik di kelas professor itu.
Suatu hari Dr Christianson meminta Steve untuk tidak langsung pulang
setelah kuliah karena ia mau berbicara kepadanya. "Berapa push up yang bisa kamu lakukan?" Steve menjawab, "Saya melakukan sekitar 200 setiap malam."
"200? Lumayan itu, Steve," Dr. Christianson melanjutkan. "Apakah kamu dapat melakukan 300?" Steve menjawab, "Saya tidak tahu. Saya tidak pernah melakukan 300 sekaligus."
"Apakah kamu pikir kamu dapat melakukannya? " tanya Dr.Christianson. "Ok, saya bisa coba," jawab Steve.
"Saya mempunyai satu proyek di kelas dan saya memerlukan kamu untuk melakukan 10 push up setiap kali, tapi sebanyak 30 kali, jadi totalnya 300.
Dapatkah kamu melakukannya? " tanya sang profesor.
Steve menjawab, "Baiklah, saya pikir saya bisa. Ok, saya akan melakukannya.
Dr Christianson berkata, "Bagus sekali! Saya memerlukan Anda untuk
melakukannya Jumat ini."
Dr Christianson kemudian menjelaskan kepada Steve apa yang ia rencanakan untuk kelas mereka pada Jumat itu.
Pada hari Jumat, Steve datang awal ke kelas dan duduk di bagian depan kelas. Saat kelas akan dimulai, sang profesor mengeluarkan satu kotak besar donat. Bukan donat biasa tetapi yang besar dengan krim ditengahnya. Setiap orang sangat bersemangat karena kelas itu merupakan kelas terakhir pada hari itu dan mereka bisa menikmati akhir pekan setelah pesta di kelas Dr. Christianson.
Dr. Christianson pergi ke baris pertama dan bertanya, "Cynthia, apakah kamu mau salah satu dari donat ini?" Cynthia menjawab, "Ya". Dr. Christianson lalu berpaling kepada Steve, "Steve, apakah kamu mau melakukan 10 push up agar Cynthia bisa mendapatkan donut ini?" "Tentu saja!" Steve lalu melompat ke lantai dan dengan cepat melakukan 10 push up. Lalu Steve kembali ke tempat duduknya. Dr.Christianson meletakkan satu donat di meja Cynthia.
Dr. Christianson lalu pergi siswa selanjutnya, dan bertanya, "Joe, apakah kamu mau satu donat?" Joe berkata, "Ya." Dr. Christianson bertanya, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up supaya Joe bisa mendapatkan donatnya?" Steve melakukan 10 push up, dan Joe mendapatkan donatnya. Begitulah selanjutnya di baris yang pertama. Steve melakukan 10 push up untuk setiap orang sebelum mereka mendapatkan donat mereka. Di baris yang kedua, Dr. Christianson berhadapan dengan Scott. Scott seorang pemain basket, dan
fisiknya sekuat Steve. Ia juga seorang yang sangat popular dan punya banyak teman wanita.
Saat profesor bertanya, "Scott apakah kamu mau donut?" Jawaban Scott adalah, "Baiklah, bisakah saya melakukan push up saya sendiri?" Dr. Christianson berkata, "Tidak, Steve yang harus melakukannya. " Lalu Scott berkata, "Kalau begitu, saya tidak mau donatnya." Dr. Christianson mengangkat bahunya dan berpaling kepada Steve dan meminta, "Steve, apakah kamu mau melakukan 10
push up agar Scott bisa mendapatkan donat yang tidak ia kehendaki?"
Dengan ketaatan yang sempurna Steven mulai melakukan 10 push up. Scott berteriak, "HEI! Saya sudah berkata, saya tidak menginginkannya! " Dr Christianson berkata, "Dengar! Ini kelas saya dan semua ini donat saya. Biarkan saja di atas meja jika kamu tidak menginginkannya. " Ia lalu menempatkan satu donat di atas meja Scott.
Saat itu Steve sudah mulai melakukan push up dengan agak perlahan. Ia hanya duduk di lantai saja karena terlalu capek untuk kembali ke tempat duduknya. Ia mulai berkeringat. Dr. Christianson mulai di baris ketiga. Para siswa mulai marah. Dr Christianson bertanya kepada Jenny, "Jenny, apakah kamu menginginkan donat ini?" Dengan tegas Jenny menjawab, "Tidak." Lalu Dr.Christianson bertanya Steve, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up lagi agar Jenny bisa mendapatkan donat yang tidak ia inginkan?"
Steve melakukan 10 push up dan Jenny mendapatkan satu donat. Ruang kelas sudah mulai dipenuhi oleh rasa tidak nyaman. Para siswa sudah mulai berkata,"Tidak! " dan semua donat dibiarkan di atas meja tanpa ada yang memakannya. Steve sudah kelelahan dan harus berusaha keras untuk tetap terus melakukan push up untuk setiap donat itu. Lantai tempat ia melakukan push up sudah dibasahi keringatnya dan lengannya sudah mulai kemerahan. Dr. Christianson bertanya kepada Robert, seorang ateis yang paling lantang suaranya kalau berdebat di kelas, apakah ia mau membantu untuk memastikan
bahwa Steve tidak curang dan tetap melakukan 10 push up untuk setiap donat karena dia sendiri sudah tidak sanggup melihat Steve melakukan push upnya.
Dr. Christianson sudah sampai ke baris keempat sekarang. Dan beberapa siswa dari kelas yang lain juga sudah mulai bergabung di kelas itu. Mereka duduk di tangga. Saat profesor menghitung kembali, ternyata ada 34 siswa sekarang di kelas. Ia mulai khawatir apakah Steve dapat melakukannya. Dr. Christianson melanjutkan dari satu siswa ke siswa selanjutnya sampai ke akhir baris itu. Dan Steve sudah mulai bergumul. Ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan push up-nya. Steve bertanya kepada Dr.Christianson, "Apakah hidung saya harus menyentuh lantai untuk setiap push up yang saya lakukan?" Dr.Christianson berpikir sejenak dan berkata, "Kamu yang melakukan push up. Jadi terserah kamu. Kamu yang pegang kendali. Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau." Dan Dr. Christianson melanjutkan ke siswa yang selanjutnya.
Beberapa saat kemudian, Jason, seorang siswa dari kelas lain dengan santai mau masuk ke kelas, dan sebelum ia melangkahi masuk, seluruh kelas berteriak serentak, "JANGAN! Jangan masuk! Kamu berdiri di luar saja!" Jason kaget karena ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Steve mengangkat kepalanya dan berkata, "Tidak, biarkan dia masuk." Professor Christianson berkata,"Apakah kamu sadar bahwa jika Jason masuk, kamu harus melakukan 10 push up untuk dia?"
Steve berkata, "Ya, biarkan dia masuk. Berikan donat kepadanya."
Dr.Christianson berkata, "Ok Steve. Jason, kamu mau donut?" Jason yang baru masuk ke kelas dan tidak tahu apa-apa menjawab, "Ya, tentu saja, berikan saya donat." Steve melakukan 10 push up dengan sangat perlahan dan bersusah payah. Jason yang kebingungan diberikan satu donat.
Dr. Christianson sudah selesai dengan baris keempat dan mulai ke tempat siswa-siswa dari kelas lain yang duduk di tangga. Tangan Steve sudah mulai gemetaran dan ia harus bergumul untuk mengangkat dirinya melawan tarikan gravitasi. Di waktu ini, keringatnya bercucuran, dan tidak kedengaran apa-apa kecuali bunyi nafasnya yang kencang. Mata setiap orang di kelas itu mulai basah. Dua siswa terakhir adalah dua siswa perempuan yang sangat popular,
Linda dan Susan.
Dr. Christianson pergi ke Linda, "Linda, apakah kamu mau donat?" Linda dengan sedih berkata, "Tidak, terima kasih." Professor Christianson dengan perlahan bertanya, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up supaya Linda bisa mendapatkan donat yang tidak ia inginkan?" Dengan pergumulan yang berat, Steve dengan perlahan melakukan push-up untuk Linda. Lalu Dr. Christianson berpaling kepada siswa yang terakhir, Susan. "Susan, kamu mau donat ini?" Susan dengan air mata yang berlinangan di pipinya mulai
menangis, "Dr Christianson, mengapa saya tidak boleh membantunya? "
Dengan mata yang berkaca-kaca Dr. Christianson berkata, "Tidak, Steve harus melakukannya sendiri. Saya telah memberinya tugas itu dan ia bertanggungjawab untuk memastikan setiap orang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan donat, tidak peduli apakah mereka menginginkannya atau tidak. Di kelas ini hanya Steve yang mempunyai nilai yang sempurna. Setiap orang telah gagal dalam ujian mereka, entah karena bolos kelas atau menyelesaikan tugas di bawah standar. Steve memberitahu saya bahwa pada saat latihan football, ketika seorang pemain melakukan kesalahan, pemain itu harus melakukan push up. Saya memberitahu Steve bahwa tidak ada seorang pun dari kalian yang boleh datang ke pesta saya kecuali Steve bersedia membayar harga dengan melakukan push up bagi kalian."
"Steve, maukah kamu membuat 10 push up supaya Susan bisa mendapatkan donat?" Steve dengan sangat perlahan melakukan 10 push up yang terakhirnya. Ia tahu ia sudah menyelesaikan semua yang harus dia lakukan. Secara total, Steve telah melakukan 350 push up, tangannya tidak tahan lagi dan ia jatuh tersungkur ke lantai.
Dr. Christianson lalu berpaling ke kelas dan berkata, "Dan, demikianlah, Juru Selamat kita, YESUS KRISTUS, di atas kayu salib, Ia telah melakukan semua yang harus dilakukanNya untuk menyelamatkan kita. Ia menyerahkan semuanya. Dan sama seperti kalian yang ada di ruangan ini, ada begitu banyak orang yang membiarkan hadiah itu begitu saja di atas meja, sama sekali tidak disentuh."
Profesor berkata, "Harapan saya adalah kalian dapat memahami dan sepenuhnya mengerti akan semua kekayaan kasih karunia dan
rahmat yang telah diberikan kepada kalian lewat pengorbanan YESUS KRISTUS.
Allah menyerahkan PUTRA TUNGGALNYA untuk kita semua. Entah kita memilih untuk menerima atau menolak karunia-Nya, satu hal yang pasti: harganya sudah lunas dibayar."
"Apakah kita akan menjadi orang yang bodoh dan yang tidak bersyukur dengan meninggalkan hadiah itu di atas meja?"
Dr. Christianson mengajar Kekristenan di perguruan tinggi ini dan setiap siswa semester pertama diwajibkan untuk mengikuti kelas ini. Sekalipun Dr. Christianson berusaha keras menyampaikan intisari Injil kepada kelasnya, ia menemukan bahwa kebanyakan siswanya memandang materi yang diajarnya sebagai suatu kegiatan yang membosankan. Meskipun ia sudah berusaha sebaik mungkin, kebanyakan siswa menolak untuk menanggapi Kekristenan secara serius.
Tahun ini, Dr. Christianson mempunyai seorang siswa yang spesial yang bernama Steve. Steve belajar dengan tujuan untuk melanjutkan studinya ke seminari dan memiliki kerinduan yang besar untuk masuk ke dalam pelayanan.
Steve seorang yang populer, ia disukai banyak orang, dan seorang atlet yang memiliki fisik yang prima dan ia merupakan siswa terbaik di kelas professor itu.
Suatu hari Dr Christianson meminta Steve untuk tidak langsung pulang
setelah kuliah karena ia mau berbicara kepadanya. "Berapa push up yang bisa kamu lakukan?" Steve menjawab, "Saya melakukan sekitar 200 setiap malam."
"200? Lumayan itu, Steve," Dr. Christianson melanjutkan. "Apakah kamu dapat melakukan 300?" Steve menjawab, "Saya tidak tahu. Saya tidak pernah melakukan 300 sekaligus."
"Apakah kamu pikir kamu dapat melakukannya? " tanya Dr.Christianson. "Ok, saya bisa coba," jawab Steve.
"Saya mempunyai satu proyek di kelas dan saya memerlukan kamu untuk melakukan 10 push up setiap kali, tapi sebanyak 30 kali, jadi totalnya 300.
Dapatkah kamu melakukannya? " tanya sang profesor.
Steve menjawab, "Baiklah, saya pikir saya bisa. Ok, saya akan melakukannya.
Dr Christianson berkata, "Bagus sekali! Saya memerlukan Anda untuk
melakukannya Jumat ini."
Dr Christianson kemudian menjelaskan kepada Steve apa yang ia rencanakan untuk kelas mereka pada Jumat itu.
Pada hari Jumat, Steve datang awal ke kelas dan duduk di bagian depan kelas. Saat kelas akan dimulai, sang profesor mengeluarkan satu kotak besar donat. Bukan donat biasa tetapi yang besar dengan krim ditengahnya. Setiap orang sangat bersemangat karena kelas itu merupakan kelas terakhir pada hari itu dan mereka bisa menikmati akhir pekan setelah pesta di kelas Dr. Christianson.
Dr. Christianson pergi ke baris pertama dan bertanya, "Cynthia, apakah kamu mau salah satu dari donat ini?" Cynthia menjawab, "Ya". Dr. Christianson lalu berpaling kepada Steve, "Steve, apakah kamu mau melakukan 10 push up agar Cynthia bisa mendapatkan donut ini?" "Tentu saja!" Steve lalu melompat ke lantai dan dengan cepat melakukan 10 push up. Lalu Steve kembali ke tempat duduknya. Dr.Christianson meletakkan satu donat di meja Cynthia.
Dr. Christianson lalu pergi siswa selanjutnya, dan bertanya, "Joe, apakah kamu mau satu donat?" Joe berkata, "Ya." Dr. Christianson bertanya, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up supaya Joe bisa mendapatkan donatnya?" Steve melakukan 10 push up, dan Joe mendapatkan donatnya. Begitulah selanjutnya di baris yang pertama. Steve melakukan 10 push up untuk setiap orang sebelum mereka mendapatkan donat mereka. Di baris yang kedua, Dr. Christianson berhadapan dengan Scott. Scott seorang pemain basket, dan
fisiknya sekuat Steve. Ia juga seorang yang sangat popular dan punya banyak teman wanita.
Saat profesor bertanya, "Scott apakah kamu mau donut?" Jawaban Scott adalah, "Baiklah, bisakah saya melakukan push up saya sendiri?" Dr. Christianson berkata, "Tidak, Steve yang harus melakukannya. " Lalu Scott berkata, "Kalau begitu, saya tidak mau donatnya." Dr. Christianson mengangkat bahunya dan berpaling kepada Steve dan meminta, "Steve, apakah kamu mau melakukan 10
push up agar Scott bisa mendapatkan donat yang tidak ia kehendaki?"
Dengan ketaatan yang sempurna Steven mulai melakukan 10 push up. Scott berteriak, "HEI! Saya sudah berkata, saya tidak menginginkannya! " Dr Christianson berkata, "Dengar! Ini kelas saya dan semua ini donat saya. Biarkan saja di atas meja jika kamu tidak menginginkannya. " Ia lalu menempatkan satu donat di atas meja Scott.
Saat itu Steve sudah mulai melakukan push up dengan agak perlahan. Ia hanya duduk di lantai saja karena terlalu capek untuk kembali ke tempat duduknya. Ia mulai berkeringat. Dr. Christianson mulai di baris ketiga. Para siswa mulai marah. Dr Christianson bertanya kepada Jenny, "Jenny, apakah kamu menginginkan donat ini?" Dengan tegas Jenny menjawab, "Tidak." Lalu Dr.Christianson bertanya Steve, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up lagi agar Jenny bisa mendapatkan donat yang tidak ia inginkan?"
Steve melakukan 10 push up dan Jenny mendapatkan satu donat. Ruang kelas sudah mulai dipenuhi oleh rasa tidak nyaman. Para siswa sudah mulai berkata,"Tidak! " dan semua donat dibiarkan di atas meja tanpa ada yang memakannya. Steve sudah kelelahan dan harus berusaha keras untuk tetap terus melakukan push up untuk setiap donat itu. Lantai tempat ia melakukan push up sudah dibasahi keringatnya dan lengannya sudah mulai kemerahan. Dr. Christianson bertanya kepada Robert, seorang ateis yang paling lantang suaranya kalau berdebat di kelas, apakah ia mau membantu untuk memastikan
bahwa Steve tidak curang dan tetap melakukan 10 push up untuk setiap donat karena dia sendiri sudah tidak sanggup melihat Steve melakukan push upnya.
Dr. Christianson sudah sampai ke baris keempat sekarang. Dan beberapa siswa dari kelas yang lain juga sudah mulai bergabung di kelas itu. Mereka duduk di tangga. Saat profesor menghitung kembali, ternyata ada 34 siswa sekarang di kelas. Ia mulai khawatir apakah Steve dapat melakukannya. Dr. Christianson melanjutkan dari satu siswa ke siswa selanjutnya sampai ke akhir baris itu. Dan Steve sudah mulai bergumul. Ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan push up-nya. Steve bertanya kepada Dr.Christianson, "Apakah hidung saya harus menyentuh lantai untuk setiap push up yang saya lakukan?" Dr.Christianson berpikir sejenak dan berkata, "Kamu yang melakukan push up. Jadi terserah kamu. Kamu yang pegang kendali. Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau." Dan Dr. Christianson melanjutkan ke siswa yang selanjutnya.
Beberapa saat kemudian, Jason, seorang siswa dari kelas lain dengan santai mau masuk ke kelas, dan sebelum ia melangkahi masuk, seluruh kelas berteriak serentak, "JANGAN! Jangan masuk! Kamu berdiri di luar saja!" Jason kaget karena ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Steve mengangkat kepalanya dan berkata, "Tidak, biarkan dia masuk." Professor Christianson berkata,"Apakah kamu sadar bahwa jika Jason masuk, kamu harus melakukan 10 push up untuk dia?"
Steve berkata, "Ya, biarkan dia masuk. Berikan donat kepadanya."
Dr.Christianson berkata, "Ok Steve. Jason, kamu mau donut?" Jason yang baru masuk ke kelas dan tidak tahu apa-apa menjawab, "Ya, tentu saja, berikan saya donat." Steve melakukan 10 push up dengan sangat perlahan dan bersusah payah. Jason yang kebingungan diberikan satu donat.
Dr. Christianson sudah selesai dengan baris keempat dan mulai ke tempat siswa-siswa dari kelas lain yang duduk di tangga. Tangan Steve sudah mulai gemetaran dan ia harus bergumul untuk mengangkat dirinya melawan tarikan gravitasi. Di waktu ini, keringatnya bercucuran, dan tidak kedengaran apa-apa kecuali bunyi nafasnya yang kencang. Mata setiap orang di kelas itu mulai basah. Dua siswa terakhir adalah dua siswa perempuan yang sangat popular,
Linda dan Susan.
Dr. Christianson pergi ke Linda, "Linda, apakah kamu mau donat?" Linda dengan sedih berkata, "Tidak, terima kasih." Professor Christianson dengan perlahan bertanya, "Steve, maukah kamu melakukan 10 push up supaya Linda bisa mendapatkan donat yang tidak ia inginkan?" Dengan pergumulan yang berat, Steve dengan perlahan melakukan push-up untuk Linda. Lalu Dr. Christianson berpaling kepada siswa yang terakhir, Susan. "Susan, kamu mau donat ini?" Susan dengan air mata yang berlinangan di pipinya mulai
menangis, "Dr Christianson, mengapa saya tidak boleh membantunya? "
Dengan mata yang berkaca-kaca Dr. Christianson berkata, "Tidak, Steve harus melakukannya sendiri. Saya telah memberinya tugas itu dan ia bertanggungjawab untuk memastikan setiap orang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan donat, tidak peduli apakah mereka menginginkannya atau tidak. Di kelas ini hanya Steve yang mempunyai nilai yang sempurna. Setiap orang telah gagal dalam ujian mereka, entah karena bolos kelas atau menyelesaikan tugas di bawah standar. Steve memberitahu saya bahwa pada saat latihan football, ketika seorang pemain melakukan kesalahan, pemain itu harus melakukan push up. Saya memberitahu Steve bahwa tidak ada seorang pun dari kalian yang boleh datang ke pesta saya kecuali Steve bersedia membayar harga dengan melakukan push up bagi kalian."
"Steve, maukah kamu membuat 10 push up supaya Susan bisa mendapatkan donat?" Steve dengan sangat perlahan melakukan 10 push up yang terakhirnya. Ia tahu ia sudah menyelesaikan semua yang harus dia lakukan. Secara total, Steve telah melakukan 350 push up, tangannya tidak tahan lagi dan ia jatuh tersungkur ke lantai.
Dr. Christianson lalu berpaling ke kelas dan berkata, "Dan, demikianlah, Juru Selamat kita, YESUS KRISTUS, di atas kayu salib, Ia telah melakukan semua yang harus dilakukanNya untuk menyelamatkan kita. Ia menyerahkan semuanya. Dan sama seperti kalian yang ada di ruangan ini, ada begitu banyak orang yang membiarkan hadiah itu begitu saja di atas meja, sama sekali tidak disentuh."
Profesor berkata, "Harapan saya adalah kalian dapat memahami dan sepenuhnya mengerti akan semua kekayaan kasih karunia dan
rahmat yang telah diberikan kepada kalian lewat pengorbanan YESUS KRISTUS.
Allah menyerahkan PUTRA TUNGGALNYA untuk kita semua. Entah kita memilih untuk menerima atau menolak karunia-Nya, satu hal yang pasti: harganya sudah lunas dibayar."
"Apakah kita akan menjadi orang yang bodoh dan yang tidak bersyukur dengan meninggalkan hadiah itu di atas meja?"
Karena Aku Adalah Sebatang Pensil
Aku hanyalah sebatang pensil di tangan Tuhan
Biarlah pensil ini dipakai Tuhan
Untuk menuliskan apapun yang IA kehendaki
Karna aku adalah sebatang pensil
Maka hanya kebaikan Tuhan yang akan kutuliskan
Hanya kebajikan Tuhan yang akan kugoreskan
Di tengah dunia yang penuh kejahatan
Aku akan menuliskan kasihMU Tuhan
Di tengah dunia yang begitu menakutkan
Aku akan menuliskan FirmanMU yang menguatkan
Di tengah kesedihan manusia yang berlinang air mata
Aku akan menuliskan penghiburan yang dari Firman
Di tengah kekecewaan manusia yang tanpa pengharapan
Aku akan menuliskan segala kebaikan Tuhan
Apa yang bisa dilakukan sebuah pensil ?
Hanya menulis dan menulis
Menulis dan terus menulis
Aku tidak akan berhenti menulis
Aku akan terus menulis dan menulis
Di tengah amukan deru ombak kejahatan
Aku akan menuliskan cinta dan kasih Tuhan
Di tengah badai yang bergelora
Aku akan menuliskan pertolongan Tuhan
Aku bertekad menuliskan kebaikan Tuhan untuk hati yang keras
Aku bertekad menuliskan pengharapan bagi yang putus asa
Aku bertekad menuliskan penghiburan bagi yang dalam kesedihan
Satu hal yang paling aku takutkan
Melewati sehari tanpa menuliskan kebaikan Tuhan
Satu hal yang tidak boleh kulakukan
Melupakan dan mengabaikan kebaikan Tuhan
Hidupku sudah bagaikan sebuah pensil
Pensil yang tak akan lekang dimakan waktu
Pensil yang akan terus berkarya di sepanjang masa
Tanpa mengenal lelah
Tanpa dipengaruhi waktu dan masa
Tulisanku akan tetap ada
Biarlah pensil ini dipakai Tuhan
Untuk menuliskan apapun yang IA kehendaki
Karna aku adalah sebatang pensil
Maka hanya kebaikan Tuhan yang akan kutuliskan
Hanya kebajikan Tuhan yang akan kugoreskan
Di tengah dunia yang penuh kejahatan
Aku akan menuliskan kasihMU Tuhan
Di tengah dunia yang begitu menakutkan
Aku akan menuliskan FirmanMU yang menguatkan
Di tengah kesedihan manusia yang berlinang air mata
Aku akan menuliskan penghiburan yang dari Firman
Di tengah kekecewaan manusia yang tanpa pengharapan
Aku akan menuliskan segala kebaikan Tuhan
Apa yang bisa dilakukan sebuah pensil ?
Hanya menulis dan menulis
Menulis dan terus menulis
Aku tidak akan berhenti menulis
Aku akan terus menulis dan menulis
Di tengah amukan deru ombak kejahatan
Aku akan menuliskan cinta dan kasih Tuhan
Di tengah badai yang bergelora
Aku akan menuliskan pertolongan Tuhan
Aku bertekad menuliskan kebaikan Tuhan untuk hati yang keras
Aku bertekad menuliskan pengharapan bagi yang putus asa
Aku bertekad menuliskan penghiburan bagi yang dalam kesedihan
Satu hal yang paling aku takutkan
Melewati sehari tanpa menuliskan kebaikan Tuhan
Satu hal yang tidak boleh kulakukan
Melupakan dan mengabaikan kebaikan Tuhan
Hidupku sudah bagaikan sebuah pensil
Pensil yang tak akan lekang dimakan waktu
Pensil yang akan terus berkarya di sepanjang masa
Tanpa mengenal lelah
Tanpa dipengaruhi waktu dan masa
Tulisanku akan tetap ada
Langganan:
Postingan (Atom)