Rabu, 12 Januari 2011

Resensi buku terbaru, terbitan 2010


Judul Buku: Konflik, Manipulasi dan Kebangkrutan Orde Baru
Penulis: Eep Saefulloh Fatah
Penerbit: Burungmerak Press, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xix + 402 halaman

KEKUASAAN dan sengketa politik serupa dua sisi sekeping koin. Tamsil itu bukan kenyataan kekuasaan ideal, tapi demikian realitas yang terjadi. Bahkan, tikai politik dianggap identik dengan kekuasaan. Tiada kekuasaan tanpa ketegangan politik dan tak ada konflik politik tanpa tujuan kekuasaan.

Sengketa politik merupakan pengalaman yang memberikan pelajaran nyata. Kadar mutu pelajaran yang diperoleh dari pengalaman itu bergantung pada sejauh mana mendalami dan memahaminya.

Buku ini mengelola pengalaman itu secara ketat-kritis melalui alat-alat teoretis-akademis sehingga keilmiahannya bisa dipertanggungjawabkan dan bisa diuji bersama. Buku ini berisi uraian cerita dan analisis teoretis tiga sengketa politik pada masa kekuasaan negara Orde Baru: Malari (1974), Petisi 50 (1980), dan Peristiwa Tanjung Priok (1984).

Tiga konflik politik itu terdeskripsikan kronologis dan anatominya serupa cerita yang dilengkapi bagan dan peta tempat peristiwa serta dokumen mengenainya. Semua itu diteropong serta dirumuskan melalui teori Nicos Poulantzas dan teori Peter Evans.

Poulantzas dan Evans adalah dua pemikir negara berkembang setelah Perang Dunia II. Poulantzas menolak negara instrumentalis model marxis ortodoks dan menawarkan model negara-organis. Sedangkan Evans menggagas negara struktural. Bagi Evans, dominasi negara merupakan persekutuan negara dan borjuasi nasional yang melibatkan faktor modal asing.

Bagaimanakah gambaran tiga peristiwa konflik politik itu?

Gerakan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) merupakan aksi mahasiswa dan massa menolak lawatan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Aksi itu menimbulkan huru-hara dan perusakan-perusakan fisik berskala luas di Jakarta yang mengakibatkan kematian belasan orang dan penangkapan ratusan tokoh oleh tentara. Aksi tersebut, antara lain, didasari antidominasi modal asing (terutama Jepang), pemusatan sumber ekonomi penting di tangan militer, dan marginalisasi masyarakat. Aksi itu merupakan klimaks perbenturan kritisisme masyarakat dengan kinerja ekonomi dan politik negara.

Dampak sosial terbesar dari Malari adalah penodaan citra dan peran politik mahasiswa dan massa sehingga diberlakukan depolitisasi dalam bermasyarakat dan bernegara serta pemberedelan beberapa media massa akibat pemberitaan peristiwa itu.

Peristiwa Petisi 50 bermula dari ”Pernyataan Keprihatinan” yang ditandatangani 50 tokoh terkemuka yang menanggapi, mengkritik, dan menggugat pidato tanpa teks Presiden Soeharto saat Rapim ABRI di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan sambutan Presiden Soeharto pada Hari Ulang Tahun KOPASSANDHA di Cijanjung, Jakarta, 16 April 1980. ”Pernyataan keprihatinan” itu juga mendesak para pejabat DPR dan MPR menanggapi pidato-pidato presiden tersebut. Akibatnya, para penanda tangan Petisi 50 mengalami ”represi halus”, misalnya pencabutan hak-hak sosial-ekonomi mereka.

Para penanda tangan Petisi 50 berasal dari kalangan nasionalis, agama, dan ABRI (kini TNI, Red). Peristiwa Petisi 50 membuat antarelite yang berpengaruh di masyarakat berkonfrontasi dan menumbuhkan ”oposisi terorganisasi” yang sebelumnya belum mengemuka.

Pada 12 September 1984, terjadi kerusuhan dan kekerasan bersenjata dalam Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa itu melibatkan massa dan tentara yang menimbulkan kematian, penangkapan, dan kerusakan infrastruktur di sekitar Tanjung Priok. Konflik itu tersulut kegalauan umat Islam akibat negara mencanangkan asas tunggal Pancasila sebagai ideologi formal. Konflik tersebut juga terpicu situasi marginal masyarakat Tanjung Priok secara sosial-ekonomi.

Setelah peristiwa itu, Orde Baru mengabaikan eksistensi ideologi informal dan mewajibkan organisasi masyarakat dan organisasi sosial-politik menganut asas tunggal Pancasila. Juga, terjadi depolitisasi, institusionalisasi, dan de-ideologisasi demi memantapkan rezimentasi negara Orde Baru.

Buku ini merupakan studi yang menunjukkan pola, arah, dan efektivitas manajemen konflik politik negara Orde Baru menghadapi tiga sengketa politik itu. Singkatnya, negara Orde Baru melakukan ”dis-manajemen”. Negara Orde Baru membuat konsensus politik semu dan ”pelatenan” politik dalam mengelola konflik-konflik politik itu. Dampak-dampak konflik politik tersebut ditekan ke bawah permukaan oleh negara.

Faktor-faktor yang melatari model manajemen konflik politik itu, antara lain, negara yang hegemonik-otoriter, memaksimalkan peran aparatur negara yang represif, melemahkan borjuasi nasional, dan melakukan alienasi politik.

Foto peristiwa dan tokoh/pelaku konflik-konflik politik itu bisa memperlengkap bahan kesejarahan dan lebih menghidupkan ingatan pada tiga konflik politik tersebut, tapi sayang tak tersaji dalam buku ini. Mengapa hanya mengungkap tiga peristiwa konflik politik itu?

Semasa Orde Baru, ada peristiwa konflik politik lain, seperti Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Anwar Warsidi di Lampung, gerakan separatisme di Aceh yang memunculkan DOM (Daerah Operasi Militer), maupun peristiwa Santa Cruz di Timor-Timur.

Tujuan buku ini bukan membuka luka lama atau mengungkit-ungkit peristiwa tragis di masa lalu. Kehadiran buku ini menjaga ingatan kolektif agar konflik-konflik politik di masa silam tak terulang dan memberikan kedalaman pemahaman terhadapnya agar masa depan tak lagi dirundung tragedi serupa. Ingatan dan pemahaman itu menjadi modal merumuskan cara menghadapi dan menangani konflik politik yang lebih demokratis. Bukankah salah satu hakikat demokrasi adalah mengelola ketegangan-ketegangan politik?

0 komentar:

Posting Komentar