Kamis, 27 Mei 2010
MELUPAKANMU....???!
Jika semua pujaan dalam dan liar biasa hati si penyair,
Jika doa-doa dari jauh dinapaskan untukmu kekuasa perlindungan Sorga,
Jika pikiran-pikiran bersayap berterbangan ke arahmu-seribu dalam sejam-
Jika khayalan yang sibuk memadumu dengan semua masa depanku-
Jika ini kau sebut "Lupa," kamu, memang, akan dilupakan..!!
"Lupa Kamu...??" Mintalah burung-burung dihutan melupakan lagu terindah yang mereka nyanyikan;
"Lupa Kamu...??" Mintalah laut lupa mengantar air pasang dibawah rembulan;
Mintalah bunga-bunga haus agar lupa minum embun menyegarkan diawal hari;
Kamu sendiri melupakan "negeri tercinta"-mu dan "pegunungannya yang liar dan biru asri..
Lupakan setiap wajah tua yang kau kenal, setiap tempat yang lama kau kenang-
Apabila hal-hal ini kau lupakan, maka kau takkan dikenang..!!
Pertahankan, jika kamu mau, damai perawanmu, masih tenang dan bebas beban,
Semoga Tuhan mencegah hatimu yang ceria menjadi kurang ceria bagiku;
Tetapi, meskipun hati itu masih belum kuperoleh, oh...!! jangan biarkan hatiku tak menentu,
Tetapi pupuklah iman bersahajanya dan cintanya yang tanpa keluhan;
Jika ini, dipertahankan selama bertahun-tahun penuh kesabaran, akhirnya tidak membuahkan,
Lupakan aku kalau begitu; tetapi jangan pernah percaya bahwa kamu bisa dilupakan....!!
__ Elisabeth ernawantik
Rabu, 26 Mei 2010
Papua
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002.
Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli.Suku Dayak
Dayak atau Daya adalah suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya terestrial (daratan, bukan budaya maritim). Sebutan ini adalah sebutan umum karena orang Daya terdiri dari beragam budaya dan bahasa. Dalam arti sempit, Dayak hanya mengacu kepada suku Ngaju (rumpun Ot Danum) di Kalimantan Tengah, sedangkan arti yang luas suku Dayak terdiri atas 6 rumpun suku. Suku Bukit di Kalimantan Selatan dan Rumpun Iban diperkirakan merupakan suku Dayak yang menyeberang dari pulau Sumatera. Sedangkan suku Maloh di Kalimantan Barat perkirakan merupakan suku Dayak yang datang dari pulau Sulawesi. Penduduk Madagaskar menggunakan bahasa yang mirip dengan bahasa Maanyan, salah satu bahasa Dayak (Rumpun Barito).
Sejarah
Ada banyak pendapat tentang asal-usul orang Dayak. Sejauh ini belum ada yang sungguh memuaskan. Pendapat umumnya menempatkan orang Dayak sebagai salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan. Gagasan (penduduk asli) ini didasarkan pada teori migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi.
Gelombang pertama terjadi kira-kira 1 juta tahun yang lalu tepatnya pada periode Interglasial-Pleistosen. Kelompok ini terdiri dari ras Australoid (ras manusia pre-historis yang berasal dari Afrika). Pada zaman Pre-neolitikum, kurang lebih 40.000-20.000 tahun lampau, datang lagi kelompok suku semi nomaden (tergolong manusia modern, Homo sapiens ras Mongoloid). Penggalian arkeologis di Niah-Serawak, Madai dan Baturong-Sabah membuktikan bahwa kelompok ini sudah menggunakan alat-alat dari batu, hidup berburu dan mengumpulkan hasil hutan dari satu tempat ke tempat lain. Mereka juga sudah mengenal teknologi api. Kelompok ketiga datang kurang lebih 5000 tahun silam. Mereka ini berasal dari daratan Asia dan tergolong dalam ras Mongoloid juga. Kelompok ini sudah hidup menetap dalam satu komunitas rumah komunal (rumah panjang?) dan mengenal tekhnik pertanian lahan kering (berladang). Gelombang migrasi itu masih terus berlanjut hingga abad 21 ini. Teori ini sekaligus menjelaskan mengapa orang Dayak memiliki begitu banyak varian baik dalam bahasa maupun karakteristik budaya.
Dayak pada masa kini
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni:[Kenyah-Kayan-Bahau],[Ot Danum],[Iban],[Murut],[Klemantan] dan [Punan]. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-rumpun. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-rumpun, kelompok suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang,hasil budaya material seperti tembikar,[mandau],sumpit,beliong(kampak Dayak),pandangan terhadap alam,mata pencaharian(sistem perladangan),dan seni tari. Perkampungan Dayak biasanya disebut:[lewu]/[lebu],sedangkan perkampungan kelompok suku-suku Melayu disebut:[benua]/[banua]. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda,tetapi di daerah perkampungan suku-suku Melayu tidak ada sistem kepemimpinan adat kecuali raja-raja lokal.
Menurut Prof. Lambut dari[Univesitas Lambung Mangkurat],secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi : - Dayak [Mongoloid] - Dayak [Melayu|Malayunoid] - Dayak [Australoid|Autrolo-Melanosoid] - Dayak [Heteronoid]
Senjata Sukubangsa Dayak
- Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
- Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
- Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
- Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
- Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak
- Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".
- Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
- Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
- Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
- Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
- Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
- Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
- Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
- Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
- Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.
Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- wara
- marabia
- mambatur (Dayak Maanyan)
- kwangkai (Dayak Benuaq)
Referensi
- Cfr. Tom Harrisson, "The Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1984), hlm. 299-322
- Peter Bellwood, “The Prehistory of Borneo”, dalam Borneo Research Bulletin, 24/9 (1992), hlm. 7-13
- Kathy MacKinnon, The Ecology of Indonesian Series Volume III: The Ecology of Kalimantan, (Singapore: Periplus Editions Ltd., 1996), hlm. 255-363
- bdk. P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121
- Fridolin Ukur, "Kebudayaan Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992), hlm. 3-10
[sunting] Macam Suku Dayak
- Suku Dayak Abal
- Suku Dayak Bakumpai
- Suku Dayak Bentian
- Suku Dayak Benuaq
- Suku Dayak Bidayuh
- Suku Dayak Bukit
- Suku Dayak Darat:Dayak Mali
- Suku Dayak Dusun
- Suku Dayak Dusun Deyah
- Suku Dayak Dusun Malang
- Suku Dayak Dusun Witu
- Suku Dayak Kadazan
- Suku Dayak Lawangan
- Suku Dayak Maanyan
- Suku Dayak Mali
- Suku Dayak Mayau
- Suku Dayak Meratus
- Suku Dayak Mualang
- Suku Dayak Ngaju
- Suku Dayak Ot Danum
- Suku Dayak Samihim
- Suku Dayak Seberuang
- Suku Dayak Siang Murung
- Suku Dayak Tunjung
- Suku Dayak Kebahan
- Suku Dayak Keninjal
- Suku Dayak Kenyah
EVOLUSI PERKEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI
Tidak dapat disangkal bahwa salah satu penyebab utama terjadinya era globalisasi yang datangnya lebih cepat dari dugaan semua pihak adalah karena perkembangan pesat teknologi informasi. Implementasi internet, electronic commerce, electronic data interchange, virtual office, telemedicine, intranet, dan lain sebagainya telah menerobos batas-batas fisik antar negara. Penggabungan antara teknologi komputer dengan telekomunikasi telah menghasilkan suatu revolusi di bidang sistem informasi. Data atau informasi yang pada jaman dahulu harus memakan waktu berhari-hari untuk diolah sebelum dikirimkan ke sisi lain di dunia, saat ini dapat dilakukan dalam hitungan detik.
Tidak berlebihan jika salah satu pakar IBM menganalogikannya dengan perkembangan otomotif sebagai berikut: “seandainya dunia otomotif mengalami kemajuan sepesat teknologi informasi, saat ini telah dapat diproduksi sebuah mobil berbahan bakar solar, yang dapat dipacu hingga kecepatan maximum 10,000 km/jam, dengan harga beli hanya sekitar 1 dolar Amerika !”. Secara mikro, ada hal cukup menarik untuk dipelajari, yaitu bagaimana evolusi perkembangan teknologi informasi yang ada secara signifikan mempengaruhi persaingan antara perusahaan-perusahaan di dunia, khususnya yang bergerak di bidang jasa. Secara garis besar, ada empat periode atau era perkembangan sistem informasi, yang dimulai dari pertama kali diketemukannya komputer hingga saat ini. Keempat era tersebut (Cash et.al., 1992) terjadi tidak hanya karena dipicu oleh perkembangan teknologi komputer yang sedemikian pesat, namun didukung pula oleh teori-teori baru mengenai manajemen perusahaan modern. Ahli-ahli manajemen dan organisasi seperti Peter Drucker, Michael Hammer, Porter, sangat mewarnai pandangan manajemen terhadap teknologi informasi di era modern. Oleh karena itu dapat dimengerti, bahwa masih banyak perusahaan terutama di negara berkembang (dunia ketiga), yang masih sulit mengadaptasikan teori-teori baru mengenai manajemen, organisasi, maupun teknologi informasi karena masih melekatnya faktor-faktor budaya lokal atau setempat yang mempengaruhi behavior sumber daya manusianya. Sehingga tidaklah heran jika masih sering ditemui perusahaan dengan peralatan komputer yang tercanggih, namun masih dipergunakan sebagai alat-alat administratif yang notabene merupakan era penggunaan komputer pertama di dunia pada awal tahun 1960-an.
ERA KOMPUTERISASI
Periode ini dimulai sekitar tahun 1960-an ketika mini computer dan mainframe diperkenalkan perusahaan seperti IBM ke dunia industri. Kemampuan menghitung yang sedemikian cepat menyebabkan banyak sekali perusahaan yang memanfaatkannya untuk keperluan pengolahan data (data processing). Pemakaian komputer di masa ini ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, karena terbukti untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, mempergunakan komputer jauh lebih efisien (dari segi waktu dan biaya) dibandingkan dengan mempekerjakan berpuluh-puluh SDM untuk hal serupa. Pada era tersebut, belum terlihat suasana kompetisi yang sedemikian ketat. Jumlah perusahaan pun masih relatif sedikit. Kebanyakan dari perusahaan perusahaan besar secara tidak langsung “memonopoli pasar-pasar tertentu, karena belum ada pesaing yang berarti. Hampir semua perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang infrastruktur (listrik dan telekomunikasi) dan pertambangan pada saat itu membeli perangkat komputer untuk membantu kegiatan administrasinya sehari-hari. Keperluan organisasi yang paling banyak menyita waktu komputer pada saat itu adalah untuk administrasi back office, terutama yang berhubungan dengan akuntansi dan keuangan. Di pihak lain, kemampuan mainframe untuk melakukan perhitungan rumit juga dimanfaatkan perusahaan untuk membantu menyelesaikan problem-problem teknis operasional, seperti simulasi-simulasi perhitungan pada industri pertambangan dan manufaktur.
ERA TEKNOLOGI INFORMASI
Kemajuan teknologi digital yang dipadu dengan telekomunikasi telah membawa komputer memasuki masa-masa “revolusi”-nya. Di awal tahun 1970-an, teknologi PC atau Personal Computer mulai diperkenalkan sebagai alternatif pengganti mini computer. Dengan seperangkat komputer yang dapat ditaruh di meja kerja (desktop), seorang manajer atau teknisi dapat memperoleh data atau informasi yang telah diolah oleh komputer (dengan kecepatan yang hampir sama dengan kecepatan mini computer, bahkan mainframe). Kegunaan komputer di perusahaan tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi, namun lebih jauh untuk mendukung terjadinya proses kerja yang lebih efektif. Tidak seperti halnya pada era komputerisasi dimana komputer hanya menjadi “milik pribadi” Divisi EDP (Electronic Data Processing)
perusahaan, di era kedua ini setiap individu di organisasi dapat memanfaatkan kecanggihan komputer, seperti untuk mengolah database, spreadsheet, maupun data processing (end-user computing). Pemakaian komputer di kalangan perusahaan semakin marak, terutama didukung dengan alam kompetisi yang telah berubah dari monompoli menjadi pasar bebas. Secara tidak langsung, perusahaan yang telah memanfaatkan teknologi komputer sangat efisien dan efektif dibandingkan perusahaan yang sebagian prosesnya masih dikelola secara manual. Pada era inilah komputer memasuki babak barunya, yaitu sebagai suatu fasilitas yang dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan, terutama yang bergerak di bidang pelayanan atau jasa.
Teori-teori manajemen organisasi modern secara intensif mulai diperkenalkan di awal tahun 1980-an. Salah satu teori yang paling banyak dipelajari dan diterapkan adalah mengenai manajemen perubahan (change management). Hampir di semua kerangka teori manajemen perubahan ditekankan pentingnya teknologi informasi sebagai salah satu komponen utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan yang ingin menang dalam persaingan bisnis. Tidak seperti pada kedua era sebelumnya yang lebih menekankan pada unsur teknologi, pada era manajemen perubahan ini yang lebih ditekankan adalah sistem informasi, dimana komputer dan teknologi informasi merupakan komponen dari sistem tersebut. Kunci dari keberhasilan perusahaan di era tahun 1980-an ini adalah penciptaan dan penguasaan informasi secara cepat dan akurat. Informasi di dalam perusahaan dianalogikan sebagai darah dalam peredaran darah manusia yang harus selalu mengalir dengan teratur, cepat, terus-menerus, ke tempat-tempat yang membutuhkannya (strategis). Ditekankan oleh beberapa ahli manajemen, bahwa perusahaan yang menguasai informasilah yang memiliki keunggulan kompetitif di dalam lingkungan makro “regulated free market”. Di dalam periode ini, perubahan secara filosofis dari perusahaan tradisional ke perusahaan modern terletak pada bagaimana manajemen melihat kunci kinerja perusahaan. Organisasi tradisional melihat struktur perusahaan sebagai kunci utama pengukuran kinerja, sehingga semuanya diukur secara hirarkis berdasarkan divisi-divisi atau departemen. Dalam teori organisasi modern, dimana persaingan bebas telah menyebabkan customers harus pandai-pandai memilih produk yang beragam di pasaran, proses penciptaan produk atau pelayanan (pemberian jasa) kepada pelanggan merupakan kunci utama kinerja perusahaan. Keadaan ini sering diasosiasikan dengan istilah-istilah manajemen seperti “market driven” atau “customer base company” yang pada intinya sama, yaitu kinerja perusahaan akan dinilai dari kepuasan para pelanggannya. Sangat jelas dalam format kompetisi yang baru ini, peranan komputer dan teknologi informasi, yang digabungkan dengan komponen lain seperti proses, prosedur, struktur organisasi, SDM, budaya perusahaan, manajemen, dan komponen terkait lainnya, dalam membentuk sistem informasi yang baik, merupakan salah satu kunci keberhasilan perusahaan secara strategis.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kepuasan pelanggan terletak pada kualitas pelayanan. Pada dasarnya, seorang pelanggan dalam memilih produk atau jasa yang dibutuhkannya, akan mencari perusahaan yang menjual produk atau jasa tersebut: cheaper (lebih murah), better (lebih baik), dan faster (lebih cepat). Disinilah peranan sistem informasi sebagai komponen utama dalam memberikan keunggulan kompetitif perusahaan. Oleh karena itu, kunci dari kinerja perusahaan adalah pada proses yang terjadi baik di dalam perusahaan (back office) maupun yang langsung bersinggungan dengan pelanggan (front office). Dengan memfokuskan diri pada penciptaan proses (business process) yang efisien, efektif, dan terkontrol dengan baiklah sebuah perusahaan akan memiliki kinerja yang handal. Tidak heran bahwa di era tahun 1980-an sampai dengan awal tahun 1990-an terlihat banyak sekali perusahaan yang melakukan BPR (BusinessProcess Reengineering), re-strukturisasi, implementasi ISO-9000, implementasi TQM, instalasi dan
pemakaian sistem informasi korporat (SAP, Oracle, BAAN), dan lain sebagainya. Utilisasi teknologi informasi terlihat sangat mendominasi dalam setiap program manajemen perubahan yang dilakukan perusahaan-perusahaan
ERA GLOBALISASI INFORMASI
Belum banyak buku yang secara eksplisit memasukkan era terakhir ini ke dalam sejarah evolusi teknologi informasi. Fenomena yang terlihat adalah bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an, perkembangan dibidang teknologi informasi (komputer dan telekomunikasi) sedemikian pesatnya, sehingga kalau digambarkan secara grafis, kemajuan yang terjadi terlihat secara eksponensial. Ketika sebuah seminar internasional mengenai internet diselenggarakan di San Fransisco pada tahun 1996, para praktisi teknologi informasi yang dahulu bekerja sama dalam penelitian untuk memperkenalkan internet ke dunia industri pun secara jujur mengaku bahwa mereka tidak pernah menduga perkembangan internet akan menjadi seperti ini. Ibaratnya mereka melihat bahwa yang ditanam adalah benih pohon ajaib, yang tiba-tiba membelah diri menjadi pohon raksasa yang tinggi menjulang. Sulit untuk ditemukan teori yang dapat menjelaskan semua fenomena yang terjadi sejak awal tahun 1990-an ini, namun fakta yang terjadi dapat disimpulkan sebagai berikut:
Tidak ada yang dapat menahan lajunya perkembangan teknologi informasi. Keberadaannya telah menghilangkan garis-garis batas antar negara dalam hal flow of information. Tidak ada negara yang mampu untuk mencegah mengalirnya informasi dari atau ke luar negara lain, karena batasan antara negara tidak dikenal dalam virtual world of computer. Penerapan teknologi seperti LAN, WAN, GlobalNet, Intranet, Internet, Ekstranet, semakin hari semakin merata dan membudaya di masyarakat. Terbukti sangat sulit untuk menentukan perangkat hukum yang sesuai dan terbukti efektif untuk menangkal segala hal yang berhubungan dengan penciptaan dan aliran informasi. Perusahaan-perusahaan pun sudah tidak terikat pada batasan fisik lagi. Melalui virtual world of computer, seseorang dapat mencari pelanggan di seluruh lapisan masyarakat dunia yang terhubung dengan jaringan internet. Sulit untuk dihitung besarnya uang atau investasi yang mengalir bebas melalui jaringan internet. Transaksi-transaksi perdagangan dapat dengan mudah dilakukan di cyberspace melalui electronic transaction dengan mempergunakan electronic money.
Tidak jarang perusahaan yang akhirnya harus mendefinisikan kembali visi dan misi bisnisnya, terutama yang bergelut di bidang pemberian jasa. Kemudahan-kemudahan yang ditawarkan perangkat canggih teknologi informasi telah merubah mindset manajemen perusahaan sehingga tidak jarang terjadi perusahaan yang banting stir menggeluti bidang lain. Bagi negara dunia ketiga atau yang sedang berkembang, dilema mengenai pemanfaatan teknologi informasi amat terasa. Di suatu sisi banyak perusahaan yang belum siap karena struktur budaya atau SDM-nya, sementara di pihak lain investasi besar harus dikeluarkan untuk membeli perangkat teknologi informasi. Tidak memiliki teknologi informasi, berarti tidak dapat bersaing dengan perusahaan multi nasional lainnya, alias harus gulung tikar.
Hal terakhir yang paling memusingkan kepala manajemen adalah kenyataan bahwa lingkungan bisnis yang ada pada saat ini sedemikian seringnya berubah dan dinamis. Perubahan yang terjadi tidak hanya sebagai dampak kompetisi yang sedemikian ketat, namun karena adanya faktor-faktor external lain seperti politik (demokrasi), ekonomi (krisis), sosial budaya (reformasi), yang secara tidak langsung menghasilkan kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan baru yang harus ditaati perusahaan. Secara operasional, tentu saja fenomena ini sangat menyulitkan para praktisi teknologi informasi dalam menyusun sistemnya. Tidak jarang di tengah-tengah konstruksi sistem informasi, terjadi perubahan kebutuhan sehingga harus diadakan analisa ulang terhadap sistem yang akan dibangun. Dengan mencermati keadaan ini, jelas terlihat kebutuhan baru akan teknologi informasi yang cocok untuk perusahaan, yaitu teknologi yang mampu adaptif terhadap perubahan. Para praktisi negara maju menjawab tantangan ini dengan menghasilkan produk-produk aplikasi yang berbasis objek, seperti OOP (Object Oriented Programming), OODBMS (Object Oriented Database Management System), Object Technology, Distributed Object, dan lain sebagainya.
PERUBAHAN POLA PIKIR SEBAGAI SYARAT
Dari keempat era di atas, terlihat bagaimana alam kompetisi dan kemajuan teknologi informasi sejak dipergunakannya komputer dalam industri hingga saat ini terkait erat satu dan lainnya. Memasuki abad informasi berarti memasuki dunia dengan teknologi baru, teknologi informasi. Mempergunakan teknologi informasi seoptimum mungkin berarti harus merubah mindset. Merubah mindset merupakan hal yang teramat sulit untuk dilakukan, karena pada dasarnya “people do not like to change”. Kalau pada saat ini dunia maju dan negara-negara tetangga Indonesia sudah memiliki komitmen khusus untuk mengambil bagian dalam penciptaan komponen-komponen sistem informasi, bagaimana dengan Indonesia? Masih ingin menjadi negara konsumen? Atau sudah mampu menjadi negara produsen? Paling tidak, hal yang harus ada terlebih dahulu di setiap manusia Indonesia adalah kemauan untuk berubah. Tanpa “willingness to change”, sangat mustahillah bangsa Indonesia dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk membangun kembali bangsa yang hancur ditelan krisis saat ini.
Selasa, 25 Mei 2010
BUDIDAYA KARET
Tujuan utama pasaran karet (hevea brasiliensis) ndonesia adalah ekspor. Di pasaran internasional (perdagangan bebas) produk karet Indonesia menghadapi persaingan ketat. PT. Natural Nusantara berupaya meningkatkan Kuantitas dan Kualitas produksi, dengan tetap menjaga Kelestarian lingkungan (Aspek K-3).
SYARAT PERTUMBUHAN
- Suhu udara 240C - 280C.
- Curah hujan 1.500-2.000 mm/tahun.
- Penyinaran matahari antara 5-7 jam/hari.
- Kelembaban tinggi
- Kondisi tanah subur, dapat meneruskan air dan tidak berpadas
- Tanah ber-pH 5-6 (batas toleransi 3-8).
- Ketinggian lahan 200 m dpl.
PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA
Pembibitan
Persemaian Perkecambahan
- Benih disemai di bedengan dengan lebar 1-1,2 m, panjang sesuai tempat.
- Di atas bedengan dihamparkan pasir halus setebal 5-7 cm.
- Tebarkan Natural Glio yang sudah terlebih dulu dikembangbiakkan dalam pupuk kandang + 1 mg.
- Bedengan dinaungi jerami/daun-daun setinggi 1 m di sisi timur dan 80 cm di sisi Barat.
- Benih direndam POC NASA selama 3-6 jam (1 tutup/liter air).
- Benih disemaikan langsung disiram larutan POC NASA 0,5 tutup/liter air.
- Jarak tanam benih 1-2 cm.
- Siram benih secara teratur, dan benih yang normal akan berkecambah pada 10-14 hss dan selanjutnya dipindahkan ke tempat persemaian bibit.
Persemaian Bibit
- Tanah dicangkul sedalam 60-75 cm, lalu dihaluskan dan diratakan.
- Buat bedengan setinggi 20 cm dan parit antar bedengan sedalam 50 cm.
- Benih yang berkecambah ditanam dengan jarak 40x40x60 cm untuk okulasi coklat dan 20x20x60 untuk okulasi hijau.
- Penyiraman dilakukan secara teratur
- Pemupukan :
PUPUK MAKRO : (diberikan 3 bulan sekali) GT 1 : 8 gr urea, 4 gr TSP, 2 gr KCl perpohon LCB 1320: 2,5 gr urea, 3 gr TSP, 2 gr KCl perpohon. POC NASA : 2-3 cc/lt air perbibit disiramkan 1-2 minggu sekali
Strategi baru untuk melestarikan hutan tropis
|
Dalam jangka waktu hanya 1-2 dekade, sifat dari perusakan hutan tropis telah berubah. TIdak lagi didominasi oleh petani desa, kini penggundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui pengumpulan kayu, penambangan minyak, pengembangan minyak dan gas, pertanian skala bear, dan perkebunan pepohonan eksotis yang menjadi sebab-sebab paling sering dari hilangnya hutan. Walau mempengaruhi tantangan serius, perubahan seperti ini juga menciptakan kesempatan-kesempatan baru yang penting bagi pelestarian hutan. Menurut kami, dengan lebih mengarahkan target kampanye masyarakat pada korporasi-korporasi dan kelompok-kelompok dagang yang strategis, kepentingan pelestarian bisa saja memberikan pengaruh yang lebih kuat pada nasib hutan tropis. Hutan tropis, secara biologis, merupakan ekosistem terkaya di bumi dan berperan penting dalam hidrologi regional, penyimpanan karbon, dan iklim global. Namun perusakan hutan tropis dengan cepat terus berlanjut, dengan sekitar 13 juta hektar hutan dihabisi setiap tahunnya. Walau angka ini tidak berubah secara mencolok di dekade-dekade terakhir ini, dasar dari penggerak penggundulan hutan sedang bergeser – dari kebanyakan penggundulan hutan yang digerakkan oleh kebutuhan hidup di tahun 1960an-1980an, ke lebih banyak penggundulan hutan yang digerakkan oleh industri akhir-akhir ini . Tren ini, kami tegaskan, memiliki implikasi kunci untuk pelestarian hutan.
Dari tahun 1960an-1980an, penggundulan hutan tropis ditiupkan secara luas oleh kebijakan-kebijakan pemerintah untuk pengembangan pedesaan, yang mencakup peminjaman untuk pertanian, pajak insentif, dan konstruksi jalanan, bersamaan dengan pertumbuhan populasi yang cepat di banyak negara berkembang. Inisiatif-inisiatif ini, terutama terlihat di negara-negara seperti Brazil dan Indonesia, mendorong munculnya gelombang arus yang dramatis para penduduk ke daerah perbatasan dan sering kali menyebabkan kerusakan hutan secara cepat. Dugaan bahwa para petani skala kecil dan peladang yang berpindah-pindah bertanggungjawab pada hilangnya hutan kebanyakan mengarah pada sebuah pendekatan konservasi seperti Integrated Conservation and Development Projects (ICDP), yang berusaha menghubungkan konservasi alam dengan pembangunan desa yang berkelanjutan. Bagaimanapun juga, sekarang ini banyak yang percaya bahwa ICDP telah sering gagal akibat kelemahan pada perencanaan dan implementasi, dan karena masyarakat lokal biasa menggunakan dana ICDP untuk meningkatkan pendapatan mereka, bukan untuk mengganti keuntungan yang telah mereka dapatkan dari mengeksploitasi alam.
Baru-baru ini, pengaruh kuat langsung dari masyarakat pedesaan pada hutan tropis tampaknya telah stabil dan bahkan telah berkurang di beberapa wilayah. Walau banyak negara tropis masih memiliki pertumbuhan populasi yang tinggi, tren urbanisasi yang kuat di negara berkembang (kecuali di Sub-Saharan Afrika) menunjukkan bahwa populasi di pedasaan tumbuh dengan lebih lambat, dan di beberapa negara mulai menurun . Popularitas program perpindahan penduduk ke perbatasan skala besar telah pula menyusut di beberapa negara. Jika tren seperti itu berlanjut, mereka mungkin meringankan tekanan pada hutan dari kegiatan pertanian skala kecil, berburu, dan mengumpulkan kayu bakar.
Pada saat yang bersamaan, pasar finansial yang telah terglobalisasi dan tingginya komoditas dunia menciptakan sebuah lingkungan yang amat menarik bagi sektor swasta . Sebagai hasil, industri penebangan kayu, penambangan, pengembangan minyak dan gas, dan terutama pertanian skala besar semakin muncul sebagai penyebab dominan dari kerusakan hutan tropis . Di Amazonia Brazil, contohnya, pertanian skala besar telah meledak, dengan jumlah hewan ternak yang meningkat lebih dari 3 kali lipat (dari 22 ke 74 juta kepala) sejak 1990, sementara industry penebangan kayu dan pertanian kedelai juga telah tumbuh dengan dramatis . Gelombang permintaan akan padi-padian dan minyak yang dapat dikonsumsi, didorong oleh kebutuhan dunia akan biofuel dan kenaikan standar hidup di negara-negara berkembang, membantu memacu tren ini.
Walaupun kita dan yang lain khawatir dengan bangkitnya penggundulan hutan skala industri (figure 2), kami berpendapat bahwa itu juga merupakan tanda munculnya kesempatan untuk perlindungan dan manajemen hutan. Daripada berusaha mempengaruhi ratusan juta penduduk hutan di daerah tropis – sebuah tantangan yang mengecilkan hati, paling baik – pendukung pelestarian sekarang bisa memfokuskan perhatian mereka pada jumlah korporasi pengeksploitasi sumber yang jauh lebih kecil. Banyak dari mereka adalah perusahaan multinasional atau perusahaan domestik yang mencari akses ke pasar internasional, yang mendorong mereka untuk menunjukkan beberapa sensitifitas terhadap masalah-masalah lingkungan yang tumbuh kepada konsumen global dan pemegang saham. Saat mereka em, korporasi seperti itu menjadi cukup lemah untuk diserang citra publiknya.
Indonesia Negara Agraris
untuk menjadi sebuah industry country,
agaknya harus dikaji ulang. Dari kultur dan budaya bangsa yang unik, muncullah kendala
untuk merealisasikan hal ini. Meskipun secara fisik Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar, namun secara mental hal itu harus dipertanyakan. Modal fisik Indonesia untuk
menjadi sebuah negara industri tidak dipungkiri lagi sangatlah terjamin. Sumber
daya alam yang berlimpah, dari Sabang sampai Merauke. Dengan hasil tambang yang
berlimpah, hutan yang kaya, laut dengan bermacam hasilnya, dan limpahan kekayaan
alam lainnya. Kemudian, tenaga kerja juga tak perlu dipertanyakan, mengingat
jumlah penduduk Indonesia lebih dari dua ratus juta orang dan di semua sektor, tenaga
kerja tersedia, dari sektor bawah (kuli, buruh) hingga sektor atas (insinyur
dan para tenaga ahli).Namun, di balik terjaminnya
modal fisik tersebut, ada modal yang tak dimiliki bangsa Indonesia. Etos kerja
dan mentalitas adalah modal yang tidak dimiliki bangsa ini. Etos kerja yang
lemah, menjadikan bangsa ini malas untuk bekerja keras. Sedangkan kerja keras
adalah satu hal yang sangat penting untuk membangun masyarakat industri. Kita
dapat melihat ini dengan mengaca pada Jepang dan Korea Selatan. Jepang dan
Korea Selatan merupakan contoh yang pas untuk menggambarkan hal ini. Etos kerja
kedua bangsa ini tak perlu diragukan lagi. Dengan etos kerja yang mereka miliki,
dalam beberapa dekade saja mereka telah menjadi negara industri yang mumpuni.
Lihat saja barang-barang industri buatan Jepang dan Korea, hampir di semua
tempat ada barang buatan mereka. Dari alat elektronik (HP, pemutar CD,
televisi, kulkas) hingga mobil dengan berbagai merek mengisi ruang-ruang di
depan kita.Yang kedua, mentalitas. Dengan mentalitas masyarakat yang tenggelam
dalam ekstasi konsumerisme (meminjam bahasanya Yasraf Amir Piliang, Dunia yang
Dilipat, 105) maka, untuk mewujudkan negara Indonesia sebagai negara industri,
adalah hal “mustahil”. Dengan kata lain untuk berubah menjadi sebuah negara
industri, terlebih rubahlah pola pikir bangsa dulu. Sebuah bangsa yang diisi
dengan masyarakat konsumer, akan selalu menjadi negara konsumen, demikian hukum
alamiah yang berlaku. Karena pola pikir yang memenuhi otak mereka, cenderung
menginginkan kemudahan-kemudahan dengan memilih menjadi manusia konsumtif dari
pada menjadi manusia produktif. Selain itu dengan mentalitas konsumerisme ini,
maka barang produksi dalam negeri yang cenderung mahal tidak menjadi pilihan
para konsumen. Lebih baik membeli barang murah dari Cina dengan kualitas sama
dengan barang dalam negeri, atau membeli barang yang agak mahal dari Jepang
dengan kualitas yang lebih baik dari pada barang dalam negeri. Dengan begitu
lemahlah semangat produktivitas bangsa ini, buat apa memproduksi barang jika
tak ada pembeli.Dengan kondisi seperti ini
tentu upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai sebuah negara industri akan
sulit dilakukan. Indonesia butuh etos kerja yang tinggi dan mentalitas yang
kuat untuk menjadi produktif, jika hal ini tetap begini, siapkanlah diri kita untuk selamanya menjadi bangsa yang
terbelakang. Meski manusianya didandani dengan pakaian dan make up paling
modern sekalipun, jika mentalitasnya adalah mentalisme konsumerisme tetap saja
bangsa ini menjadi bangsa yang terbelakang. Corak negara Agraris, sebagi satu pilihanSetelah melihat dan
merasakan bahwa bangsa Indonesia belum cukup mampu untuk menjadi negara
industri, maka satu “perubahan” harus tetap dilakukan, life must be go on. Tentunya kita tak mau hidup dalam kondisi
negara yang seperti ini. Di mana kesenjangan sosial begitu nampak, kemiskinan
merajalela, pengangguran mewabah, dan yang kaya makin kaya saja. Kembali menjadi masyarakat
dengan basis utama pertanian tentu adalah pilihan yang tidak buruk. Masyarakat
Indonesia yang sejak dulu memang bangsa petani, mengapa seolah melupakan
kodratnya itu. Dengan kondisi dan letak geografis yang memang sesuai dengan
pertanian, mengapa kita tak memanfaatkan ini sebaik mungkin. Tanah yang luas
dan subur, iklim yang baik untuk pertanian, laut yang kaya, mengapa kita
membiarkan ini terbengkalai. Dan apa yang telah terjadi? Bangsa ini malah
memarginalkan pertanian dengan mengangkat industrialisasi yang ternyata belum
pas untuk Indonesia. Seharusnya pemerintah memfokuskan
pada bidang pertanian ini, karena di saat bangsa ini diselimuti kabut
konsumerisme, petanilah yang masih memiliki etos keja dan mentalitas yang baik.
Dengan mengangkat derajat petaninya maka negara ini akan berhasil. Tapi selama
ini yang terjadi, para petani malah selalu dijadikan korban pasar dan kebijakan
yang diciptakan pasar. Pupuk yang mahal, dengan harga hasil pertanian yang
murah. Ketimpangan-ketimpangan ini seharusnya tak terjadi jika sejak awal
bangsa ini sadar siapa dirinya sebenarnya. Subsidi-subsidi harusnya diberikan
kepada petani, demi meningkatkan kinerja mereka, demikian pula
penyuluhan-penyuluhan tetap harus dilakukan. Hal yang sangat dibutuhkan petani
saat ini adalah fasilitator yang dapat membantu kerja mereka, bukan sebaliknya.
Dengan pertanian sebagai
tumpuan perekonomian kita, baru bangsa menuju masyarakat industris. Untuk menjadi
masyarakat industris diperlukanlah akar yang kuat untuk melandasinya. Dan
dengan menjadi masyarakat agraris yang mumpuni, bangsa ini akan menjadi masyarakat
industris dengan akar yang kokoh. Selama ini kita seperti pohon hasil
cangkokan, yang bila sedikit diterpa badai krisis, koleplah kita. Hal ini
karena akar-akar yang dimiliki tidak begitu kuat. Akar yang dimiliki hanya
sekedar untuk menopang kehidupan sementara. Kita lihat saja ke depan, apa
dengan basis perekonomia disektor non riil, perekonomian bangsa ini akan
berkembang? Pola perekonomian mengambang yang diterapkan pemerintah ini tentu
tak akan memunculkan kemakmuran yang merata, bahkan akan terus menimbulkan ketakutan
akan munculnya sebuah keos, karena memang tak memiliki basis yang kuat. Selain
itu, dengan pola ini, ketergantungan
kita terhadap modal asing akan begitu kuat. Apabila modal asing itu
pergi, habislah perekonomian bangsa ini.
Kraton Yogyakarta
Keindahan Jayapura
Kali ini kita mencoba mengenali salah satu
SOEHARTO, PRESIDEN RI KE-2
|
|
Suara Hati Seorang Perempuan. Gender di Era Global
Mengapa terjadi "perbedaan" gender? Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi sosial gender secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing. Lalu apa itu gender? Gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin. Kalau dilihat dalam kamus, tidak dibedakan secara jelas kata sex dan gender. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata-kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Pengertian sex merupakan persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya laki-laki memiliki penis, jakala atau kalamenjing dan memproduksi sperma. Perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan dan memprduksi sel telur, memliki vagina dan alat menyusui. Alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan pada manusia laki-laki dan perempuan karena bersifat tetap yang disebut sebagai kodrat atau ketentuan Tuhan.
Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan (gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki dan terutama bagi perempuan. Hal ini dapat dilihat dari manifestasi ketidakadilan yang ada. Pertama, marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi. Gelombang perdagangan bebas dikendalikan oleh pemilik modal dengan serakah. Marginalisai dan penindasan bagi kaum mustadh’afin menjadi buruh yang dieksploitasi. Penindasan dan pemarginalan terhadap kaum dhuafa’ dan masakin sering dilakukan oleh kelas-kelas dominan. Pun, elit keagamaan menjadi bagian dari proses de-humanisasi. Isu perubahan kerja yang adil harus jadi prioritas bagi elit keagamaan dengan semangat iman dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan untuk selalu berlomba-lomba dalam kebajikan. Kesalehan personal terhadap Tuhan tidak akan mampu membendung arus penindasan dan marginalisasi oleh kelas dominasi terhadap kaum mustadh’afin. Sejatinya, kesalehan ini diwujudkan dalam interaksi dan sistem sosial dalam kehidupan sehari-hari.. Bersandar pada realitas seperti itu, maka mengahadirkan agama sebagai rahmatalilalamin bagi seluruh umatnya menjadi sebuah keharusan untuk menghadang dan membendung kemungkaran sosial.
Kedua, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik. Perampasan daya sosial mencakup perampasan akses seperti informasi, pengetahuan, pengembangan keterampilan dan potensi kolektif, serta partisipasi dalam organisasi dan sumber-sumber keuangan. Perampasan daya politik meliputi perampasan akses individu pada pengambilan keputusan politik, termasuk kemampuan memilih dan menyuarakan aspirasi serta bertindak kolektif. Tekanan ini lebih merupakan akibat dari operasi watak otoritarian rezim dan pendukung koersifnya. Kebisuan ini yang harus dibongkar. Perampasan daya psikologis mencakup tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya dalam kancah sosial-politik, sehingga individu itu tidak punya peluang untuk berpikir kritis. Tekanan eksternal itu diinternalisasi si miskin menjadi kesadaran palsu. Mereka percaya bahwa mereka miskin dan bodoh, tidak bisa apa-apa, selain mengandalkan orang lain untuk mengubah keadaannya.
Ketiga, Pembentukan sterotipe atau pelabelan negatif. Setereotipe yang dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan.
Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya, pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Konsep gender ialah suatu sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.
Keempat, kekerasan (violence). Kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami, ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, atau majikan.
Lima, beban kerja yang pajang dan lebih banyak (burden). Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Keenam, Sosialisasi ideologi nilai peran gender. Yusuf Supiandi membeberkan bagaimana ketidaksetaraan gender itu memberi pengaruh yang cukup besar terhadap kemiskinan. Misalnya, investasi terhadap SDM, khususnya anak-anak dan perempuan dalam pendidikan dan kesehatan. Perempuan yang berpendidikan dan mempunyai kesehatan yang baik akan mempunyai kesempatan untuk aktif bekerja secara produktif pada sektor-sektor formal serta akan menikmati pendapatan yang baik dibanding dengan perempuan yang tidak punya pendidikan dan sakit-sakitan. Selain itu, perempuan yang punya pendidikan akan memberikan perhatian yang lebih besar pada anak-anaknya yang merupakan investasi bagi masa depan anak-anak.
Bentuk ketidakadilan gender tidak bisa dipisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan secara dialektis. Misalnya marginalisasi ekonomi perempuan menyebabkan kekerasan, yang akhirnya tersosialisasikan dalam keyakinan dan visi kaum perempuan sendiri. Karenanya, guna memaksimalkan peran perempuan, pemahaman gender mutlak dibutuhkan. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan syarat mutlak untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi. Oleh sebab itu, tidak benar anggapan yang mengatakan bahwa gerakan kesetaraan dan keadilan gender itu merupakan upaya merusak tatanan masyarakat yang telah baku. Yang benar adalah kesetaraan dan keadilan gender menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan manusiawi. Upaya laki-laki dan perempuan melawan sistem yang tidak adil.
Bagaimana usaha yang dilakukan mewujudkan keadilan gender? Keadilan dan kesetaraan gender dapat dipenuhi jika undang-undang dan hukum menjamin. Problem sekarang adalah tidak adanya jaminan dari negara untuk memperoleh kebebasan setiap insan tumbuh secara maksmal. Relasi gender tidak semata lahir dari kesadaran individu, tetapi juga bergantung pada faktor ekonomi, sosial dan lingkungan yang sehat dan dinamis.
Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak reproduksi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin.