Indonesia Negara AgrarisAgenda besar negara ini
untuk menjadi sebuah industry country,
agaknya harus dikaji ulang. Dari kultur dan budaya bangsa yang unik, muncullah kendala
untuk merealisasikan hal ini. Meskipun secara fisik Indonesia memiliki potensi
yang sangat besar, namun secara mental hal itu harus dipertanyakan. Modal fisik Indonesia untuk
menjadi sebuah negara industri tidak dipungkiri lagi sangatlah terjamin. Sumber
daya alam yang berlimpah, dari Sabang sampai Merauke. Dengan hasil tambang yang
berlimpah, hutan yang kaya, laut dengan bermacam hasilnya, dan limpahan kekayaan
alam lainnya. Kemudian, tenaga kerja juga tak perlu dipertanyakan, mengingat
jumlah penduduk Indonesia lebih dari dua ratus juta orang dan di semua sektor, tenaga
kerja tersedia, dari sektor bawah (kuli, buruh) hingga sektor atas (insinyur
dan para tenaga ahli).Namun, di balik terjaminnya
modal fisik tersebut, ada modal yang tak dimiliki bangsa Indonesia. Etos kerja
dan mentalitas adalah modal yang tidak dimiliki bangsa ini. Etos kerja yang
lemah, menjadikan bangsa ini malas untuk bekerja keras. Sedangkan kerja keras
adalah satu hal yang sangat penting untuk membangun masyarakat industri. Kita
dapat melihat ini dengan mengaca pada Jepang dan Korea Selatan. Jepang dan
Korea Selatan merupakan contoh yang pas untuk menggambarkan hal ini. Etos kerja
kedua bangsa ini tak perlu diragukan lagi. Dengan etos kerja yang mereka miliki,
dalam beberapa dekade saja mereka telah menjadi negara industri yang mumpuni.
Lihat saja barang-barang industri buatan Jepang dan Korea, hampir di semua
tempat ada barang buatan mereka. Dari alat elektronik (HP, pemutar CD,
televisi, kulkas) hingga mobil dengan berbagai merek mengisi ruang-ruang di
depan kita.Yang kedua, mentalitas. Dengan mentalitas masyarakat yang tenggelam
dalam ekstasi konsumerisme (meminjam bahasanya Yasraf Amir Piliang, Dunia yang
Dilipat, 105) maka, untuk mewujudkan negara Indonesia sebagai negara industri,
adalah hal “mustahil”. Dengan kata lain untuk berubah menjadi sebuah negara
industri, terlebih rubahlah pola pikir bangsa dulu. Sebuah bangsa yang diisi
dengan masyarakat konsumer, akan selalu menjadi negara konsumen, demikian hukum
alamiah yang berlaku. Karena pola pikir yang memenuhi otak mereka, cenderung
menginginkan kemudahan-kemudahan dengan memilih menjadi manusia konsumtif dari
pada menjadi manusia produktif. Selain itu dengan mentalitas konsumerisme ini,
maka barang produksi dalam negeri yang cenderung mahal tidak menjadi pilihan
para konsumen. Lebih baik membeli barang murah dari Cina dengan kualitas sama
dengan barang dalam negeri, atau membeli barang yang agak mahal dari Jepang
dengan kualitas yang lebih baik dari pada barang dalam negeri. Dengan begitu
lemahlah semangat produktivitas bangsa ini, buat apa memproduksi barang jika
tak ada pembeli.Dengan kondisi seperti ini
tentu upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai sebuah negara industri akan
sulit dilakukan. Indonesia butuh etos kerja yang tinggi dan mentalitas yang
kuat untuk menjadi produktif, jika hal ini tetap begini, siapkanlah diri kita untuk selamanya menjadi bangsa yang
terbelakang. Meski manusianya didandani dengan pakaian dan make up paling
modern sekalipun, jika mentalitasnya adalah mentalisme konsumerisme tetap saja
bangsa ini menjadi bangsa yang terbelakang. Corak negara Agraris, sebagi satu pilihanSetelah melihat dan
merasakan bahwa bangsa Indonesia belum cukup mampu untuk menjadi negara
industri, maka satu “perubahan” harus tetap dilakukan, life must be go on. Tentunya kita tak mau hidup dalam kondisi
negara yang seperti ini. Di mana kesenjangan sosial begitu nampak, kemiskinan
merajalela, pengangguran mewabah, dan yang kaya makin kaya saja. Kembali menjadi masyarakat
dengan basis utama pertanian tentu adalah pilihan yang tidak buruk. Masyarakat
Indonesia yang sejak dulu memang bangsa petani, mengapa seolah melupakan
kodratnya itu. Dengan kondisi dan letak geografis yang memang sesuai dengan
pertanian, mengapa kita tak memanfaatkan ini sebaik mungkin. Tanah yang luas
dan subur, iklim yang baik untuk pertanian, laut yang kaya, mengapa kita
membiarkan ini terbengkalai. Dan apa yang telah terjadi? Bangsa ini malah
memarginalkan pertanian dengan mengangkat industrialisasi yang ternyata belum
pas untuk Indonesia. Seharusnya pemerintah memfokuskan
pada bidang pertanian ini, karena di saat bangsa ini diselimuti kabut
konsumerisme, petanilah yang masih memiliki etos keja dan mentalitas yang baik.
Dengan mengangkat derajat petaninya maka negara ini akan berhasil. Tapi selama
ini yang terjadi, para petani malah selalu dijadikan korban pasar dan kebijakan
yang diciptakan pasar. Pupuk yang mahal, dengan harga hasil pertanian yang
murah. Ketimpangan-ketimpangan ini seharusnya tak terjadi jika sejak awal
bangsa ini sadar siapa dirinya sebenarnya. Subsidi-subsidi harusnya diberikan
kepada petani, demi meningkatkan kinerja mereka, demikian pula
penyuluhan-penyuluhan tetap harus dilakukan. Hal yang sangat dibutuhkan petani
saat ini adalah fasilitator yang dapat membantu kerja mereka, bukan sebaliknya.
Dengan pertanian sebagai
tumpuan perekonomian kita, baru bangsa menuju masyarakat industris. Untuk menjadi
masyarakat industris diperlukanlah akar yang kuat untuk melandasinya. Dan
dengan menjadi masyarakat agraris yang mumpuni, bangsa ini akan menjadi masyarakat
industris dengan akar yang kokoh. Selama ini kita seperti pohon hasil
cangkokan, yang bila sedikit diterpa badai krisis, koleplah kita. Hal ini
karena akar-akar yang dimiliki tidak begitu kuat. Akar yang dimiliki hanya
sekedar untuk menopang kehidupan sementara. Kita lihat saja ke depan, apa
dengan basis perekonomia disektor non riil, perekonomian bangsa ini akan
berkembang? Pola perekonomian mengambang yang diterapkan pemerintah ini tentu
tak akan memunculkan kemakmuran yang merata, bahkan akan terus menimbulkan ketakutan
akan munculnya sebuah keos, karena memang tak memiliki basis yang kuat. Selain
itu, dengan pola ini, ketergantungan
kita terhadap modal asing akan begitu kuat. Apabila modal asing itu
pergi, habislah perekonomian bangsa ini.
Selasa, 25 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar