Senin, 24 Mei 2010
Siti Hartinah Soeharto. Perjuangan dan Pengabdian Ibu Negara
Sejak remaja aktif di Laskar Putri indonesia berjuang di garis belakang mempertahankan kemerdekaan. Apalagi setelah menjadi Ibu Negara sebagai pendamping setia Presiden Soeharto, ia mencetuskan beberapa gagasan yang melahirkan beberapa proyek monumental, di antaranya Taman Mini Indonesia Indah. Ia meninggal, Minggu 28 April 1996, menginggalkan karya gemilang bagi bangsanya. Setelah meninggal, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Siti Hartinah (Ibu Tien Soharto) lahir di Desa Jaten pada tanggal 23 Agustus 1923 dari pasangan RM Soemoharjomo dan R. Aj. Hatmanti. Ia merupakan anak kedua dari 10 bersaudara. Kakaknya adalah R. Aj. Siti Hartini, sedangkan adiknya adalah RM Ibnu Hartomo, RM Ibnu Harjatno, R. Aj. Siti Hartanti, RM Ibnu Harjoto, RM Ibnu Widojo, R. Aj. Siti Hardjanti, RM Bernadi Ibnu Hardjojo, dan RM Sabarno Ibnu Harjanto.
Masa kecil Siti Hartinah diwarnai dengan berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke berbagai daerah. Terkadang, ketika dipindahkan ke sebuah wilayah, orangtuanya belum menyiapkan tempat tinggal untuk keluarga itu. Ada kalanya keluarga itu tinggal sementara di rumah Kepala Desa sebelum mendapatkan rumah baru. Pada masa itu belum ada istilah rumah dinas untuk pejabat golongan rendah.
Perpindahan pertama yang dialami Siti Hartinah terjadi ketika masih berusia 3 tahun yaitu pada tahun 1925. Ayahnya, RM. Ng. Soemoharjomo menempati jabatan baru sebagai Panewu Pangreh Praja (setingkat Camat) ditugaskan ke Jumapolo, sebuah kota Kecamatan di Karanganyar sekitar 26 Km dari Kota Solo. Di kota inilah Siti Hartinah terkena wabah penyakit disentri yang hampir merenggut nyawanya. Ia terserang wabah penyakit yang tanpa pilih bulu menyerang siapa saja di Surakarta termasuk di Jumapolo. Banyak sekali jatuh korban jiwa. Hampir setiap hari ada warga yang meninggal di Jumapolo.
Sebagai tempat yang terpencil, Jumapolo tidak memiliki fasilitas kesehatan dan obat-obatan. Jangankan dokter, perawat pun tidak ada. Maka, Siti Hartinah pun hanya mampu terbaring menungggu nasib. Tak ada orang lain yang berani mendekati selain kedua orangtuanya. Mereka mencari berbagai cara dan pengobatan untuk menyembuhkan buah hatinya. Sebagai orang yang beriman, siang dan malam mereka berdoa kepada Tuhan agar Siti Hartinah segera disembuhkan. Rupanya doa yang tulus dari orngtua itu dikabulkan Tuhan. Siti Hartinah pun sembuh dari penyakit.
Perpindahan itu mengakibatkan terjadinya perbedaan alam dan lingkungan. Namun, perbedaan tersebut ternyata memberi bekal yang cukup berarti bagi pribadinya menjadi pribadi yang terbuka dan luas pergaulannya.
Pada usia lima tahun, Siti Hartinah kembali harus berpindah tempat tinggal mengikuti orangtuanya. Kali ini pindah ke Matesih, Kabupaten Karanganyar di kaki Gunung Lawu. Di Matesih terdapat satu sekolah dasar yang disebut sekolah Ongko Loro. Sekolah ini hanya menyelenggarakan pendidikan formal selama dua tahun. Siti Hartinah masuk ke sekolah ini.
Seorang sahabat ayahnya, Abdul Rachman, datang dari Solo. Abdul Rachman yang sudah berkeluarga namun tidak punya anak itu bermaksud mengangkat salah seorang anak Panewu Soemoharjomo. Pilihannya jatuh pada Siti Hartinah. Meskipun berat hati, setelah dirundingkan, akhirnya permohonan Abdul Rachman dikabulkan. Ia pun ikut keluarga baru di Solo. Di sana ia sekolah di salah satu sekolah elit, HIS (Holland Indlanche School). Untuk pertama kalinya, ia berhubungan dengan sistem pendidikan Belanda.
Sayangnya, baru setahun bersama dengan keluarga Abdul Rachman yang begitu perhatian, ia terpaksa harus kembali ke keluarganya dan meninggalkan HIS. Hal ini terjadi karena ia terserang penyakit cacar yang sangat mengkhawatirkan. Ia pun kembali ke desa. Ia tidak kembali ke Matesih, melainkan ke Kerjo, karena orangtuanya sudah kembali dipindahkan. Di tempat baru, setelah sembuh, ia kembali masuk sekolah. Tentu saja tidak di HIS, melainkan di sekolah Ongko Loro yang ada di desa itu.
Kerjo barangkali merupakan masa penutup untuk masa kanak-kanaknya. Setelah di desa ini, ayahnya mendapat kenaikan pangkat menjadi wedana. Pada tahun 1933, Wedana Soemoharjomo memboyong keluarganya ke Wonogiri, termauk Siti Hartinah. Di Wonogiri, ia kembali masuk HIS, duduk di bangku kelas III.
Masa Remaja
Di Wonogiri, Siti Hartinah berhasil menyelesaikan sekolahnya di HIS. Jarak antara rumah dengan sekolah sekitar 5 Km. Untuk mencapai sekolah, ia dan kakaknya selalu naik andong.
Selama bersekolah ia selalu memakai kebaya, bukan memakai rok. Hanya pada kegiatan kepanduan JPO (Javaanche Padvinder Organisatie) ia diizinkan orangtuanya memakai rok, pakaian seragam JPO. Karena rajin mengikuti latihan-latihan di JPO, akhirnya dalam dirinya tumbuh tunas-tunas idealisme yang terus berkembang. Fungsi kepanduan yang universal adalah pembinaan budi pekerti, watak, dan karakter sejak usia muda, disiplin dan solidaritas serta tolong menolong, saling hormat menghormati serta saling menyayangi.
Namun, sayangnya ia tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ayahnya menjadi Wedana Wonogiri hanya dalam waktu lima tahun. Kemudian ia dipindahkan menjadi Wedana di Wuryantoro. Dua tahun kemudian ia pun dipensiunkan.
Keinginannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan cita-cita menjadi seorang dokter memang tidak tercapai. Tetapi, dengan mengalihkan kegiatan-kegiatan lainnya seperti membatik, belajar menari dan menyanyi tembang Jawa, menulis syair, ternyata memenuhi dorongan dan tuntutan jiwa remajanya. Yang tidak terjadi barangkali jatuh cinta. Ia tidak mengalami jatuh cinta sebagaimana remaja lainnya.
Masa Pendudukan Jepang
Sebelum Jepang memasuki kota Solo pada tahun 1942, Siti Hartinah kembali memasuki gerakan kepanduan. Kali ini tidak lagi di JPO melainkan di Pandu rakyat Indonesia. Aktivitasnya itu juga merupakan kegiatan satu-satunya di luar rumah. Selebihnya ia tinggal di dalam rumah dengan kegiatan membatik. Kain batik karyanya ia jual. Uangnya digunakan untuk kursus mengetik dan steno.
Setelah Jepang memasuki kota Solo, terjadi perkembangan yang sangat cepat di segala bidang kemasyarakatan dan pemerintahan. Tentara pendudukan Jepang mengadakan pendidikan dan kursus-kursus, termasuk kursus bahasa Jepang. Selain dibentuk pula organisasi-organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi wanita Fujinkai. Siti Hartinah setalah mendapat izin orangtuanya segera mendaftar di organisasi tersebut. Dalam organisasi itu dilatih baris-berbaris, latihan kepemimpinan, bagaimana melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh pergerakan, dan lain-lain. Mereka juga dilatih berpidato dan belajar sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka. Dari sini, benih-benih semangat nasionalisme muncul di kalangan remaja putri Solo yang terkenal lemah lembut. Mereka sesungguhnya memiliki semangat tinggi untuk turut aktif dalam gerakan mewujudkan kemerdekaan.
Siti Hartinah juga mengikuti kursus bahasa Jepang pada orang Jepang yang sudah lama menetap di Solo sebagai pengusaha pada zaman kolonial Belanda, bukan pada tentara pendudukan Jepang. Dalam waktu singkat ia sudah mahir berbahasa Jepang.
Laskar Putri Indonesia
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, rakyat Solo segera melakukan mobilisasi untuk mendukung kemerdekaan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melucuti senjata tentara Jepang. Ternyata, kaum wanita Solo pun antusias untuk terlibat dalam upaya heroik itu. Putri-putri Solo yang gemulai itu pada tanggal 11 Oktober 1945 membentuk organisasi bersenjata yang mereka namakan Laskar Puteri Indonesia.
Dalam waktu singkat, jumlah anggota Laskar Puteri Indonesia meningkat cepat. Mula-mula berjumlah 150 orang kemudian bertambah menjadi 200 orang. Mereka dilatih oleh perwira dari Batalyon yang dipimpin Mayor Soeharto. Persenjataan pun diperoleh dari batalyon yang sama. Dengan memiliki 120 pucuk senjata, laskar itu pun telah menjelma menjadi pasukan tempur wanita.
LPI bertujuan untuk membentuk pasukan bantuan untuk melayani kepentingan pasukan garios depan dan garis belakang demi suksesnya perjuangan. Untuk itu, diperlukan organisasi yang baik seperti kepemimpinan dan staf sebagai unsur pendukungnya. Komandan LPI diserahkan kepada nona Soedijem, sedangkan wakilnya adalah nona Sajem. Siti Hartina duduk di staf yang mengendalikan urusan perlengkapan atau logistik. LPI menyelenggarakan dapur-dapur umum di medan pertempuran dan membatu markas-markas pertempuran, membatu tugas-tugas kesehatan PMI, mencari peralatan, makanan untuk Kesatuan yang membutuhkan, menyelenggarakan latihan-latihan kemiliteran dan lain-lain.
Selama di LPI, Siti Hartinah tidak pernah berada di garis depan pertempuran. Tetapi, ia menjadi tulang punggung di garis belakang yang sangat membantu perjuangan di garis depan. Selama menjadi anggota LPI, Siti Hartinah pernah ditempatkan di dapur umum Salatiga untuk membantu kekurangan tenaga di sana. Secara umum, LPI benar-benar menjadi penunjang kesuksesan perjuangan melawan musuh.
Meskipun LPI memiliki andil besar dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, namun keberadaannya tidak dapat bertahan lama. Organisasi itu terbentur pada peraturan pemerintah yang mengambil kebijakan rasionalisasi kelaskaran bersenjata. Atas dasar kebijakan tersebut, maka di penghujung tahun 1946, LPI dibubarkan.
Anggota-anggota LPI yang telah terlatih mengambil jalan masing-masing. Ada yang kembali ke dunia pendidikan menjadi guru, ada yang kembali sekolah, dan yang paling banyak adalah yang menggabungkan diri pada markas pimpinan pertempuran. Siti Hartinah yang masing memiliki semangat perjuangan yang kuat bergabung dengan Laskar Rakyat Indonesia dan duduk di seksi keuangan. Tugasnya adalah tidak semata-mata melakukan pengumpulan dana, melainkan juga mengadakan keperluan dapur seperti sayur-mayur, tahu, tempe, dan sebagainya.
Pengumpulan dana dilakukan dengan cara mengedarkan kotak-kotak sumbangan sosial, melakukan pertunjukan wayang orang dan pertunjukan lainnya di Stadion Sriwedari, dan berbagai upaya halal lainnya. Siti Hartinah bertugas mengelola administrasi keuangan, baik yang masuk maupun yang keluar.
Di samping mengerjakan pekerjaan tersebut, perhatian Siti Hartinah terhadap keluarga korban perang sangat luar biasa. Ia akan mendatangi keluarga yang ditinggal oleh suami atau ayah mereka yang gugur di medan pertempuran.
Bertemu Kekasih
Usia Siti Hartinah terus bertambah, namun ia tidak juga menunjukkan tanda-tanda tertarik pada lawan jenis. Orang tuanya, tante-tante dan kerabatnya justru khawatir dara berlesung pipit ini tidak kunjung mendapat jodoh. Padahal, Siti Hartinah sendiri sering berdoa agar dirinya diberi jodoh yang benar-benar cocok dan tidak hanya sekadar sebagai suami tetapi juga sebagai kawan seperjuangan sepanjang jalan kehidupan nantinya.
Hingga pada suatu hari datanglah utusan keluarga Prawirowihardjo yang merupakan orang tua angkat Soeharto bermaksud melamar Siti Hartinah. Pada waktu lamaran, baik Soeharto maupun Siti Hartinah sama-sama belum saling bertemu. Sebelum lamaran dilakukan, ada kegamangan di hati pemuda Soeharto kalau lamaran itu bakal ditolak. Alasannya, dia berasal dari kalangan biasa, sedangkan Siti Hartinah merupakan keluarga bangsawan.
Barangkali inilah yang namanya jodoh. Bukan satu dua kali Siti Hartinah mendapat lamaran atau ada pemuda yang mencoba mendekatinya, tetapi dia selalu saja menolak. Akan tetapi, ketika yang melamar adalah seorang perwira muda bernama Soeharto, dia sama sekali tidak menunjukkan keberatannya.
Perkawinan kedua insan yang tidak melakukan masa pacaran sebelumnya terjadi pada tanggal 26 Desember 1947. Upacara pernikahan dilangsungkan secara amat sederhana. Resepsi pun hanya diterangi lampu lilin yang redup. Malam pertama mereka diwarnai dengan pemberlakuan jam malam. Setiap warga tidak diperkenankan meninggalkan rumah atau tidak boleh terlihat keluar rumah oleh aparat yang berjaga. Dalam kondisi yang darurat seperti itu, sangat wajar jika tidak ada dokumentadi dalam bentuk foto perkawinan dua insan itu. Pada waktu menikah, uasia Soeharto adalah 26 tahun sedangkan Siti Hartinah 24 tahun.
Meskipun tanpa melalui acara pacaran, mereka berdua berupaya mempertahankan perkawinan sepanjang usia. Keduanya berpegang pada pepatah, “witing tresna jalaran saka kulina” yang berarti datangnya cinta karena bergaul dekat.
Istri Prajurit
Tiga hari setelah perkawinan, Siti Hartinah diboyong suaminya ke Yogyakarta. Di kota ini Soeharto yang seorang perwira militer bertugas mempertahankan kedaulatan bangsa dari ancaman Belanda. Kini Siti Hartinah telah mendapat tugas baru yaitu sebagai istri komandan resimen.
Di Yogyakarta, Letnan Kolonel Soeharto telah menyiapkan sebuah rumah beserta isinya yang sederhana untuk tempat tinggal mereka. Rumah itu terletak di Jalan Merbabu No. 2. Baru seminggu mereka tinggal di Yogya, Soeharto sudah harus meninggalkan istrinya. Ia ditugaskan ke Ambarawa untuk menghadapi serangan Belanda dari Semarang. Setelah tiga bulan berpisah, barulah Siti Hartinah kembali berkumpul dengan suaminya. Kepergian itu bukan sekali itu saja terjadi. Dalam kondisi darurat, Soeharto sering melakukan perjalanan tugas yang menempuh waktu relatif lama.
Setelah tinggal selama 9 bulan, Ny. Soeharto mulai memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Itu berarti beberapa bulan lagi ia akan memiliki anak. Sayangnya, pada saat itu suaminya justru harus sering meninggalkannya. Aksi militer Belanda yang semakin hebat membut tugas suaminya menjadi lebih berat. Dalam kondisi demikian, Soeharto lebih memilih mendahulukan tugasnya sebagai anggota militer yang harus maju ke medan pertempuran dan meninggalkan istrinya di rumah.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Siti Hartinah bertambah sulit untuk bertemu Soeharto. Sekali bertemu tidak pernah berlangsung lama, karena Soerharto harus kembali ke pos jaga. Dalam kondisi mengandung, Ny Soeharto sesungguhnya membutuhkan dekat dengan suaminya. Namun, ia memahami tugas berat yang diemban suaminya dan tidak merengek-rengek minta ditemani. Ia pun tidak mengeluh atas nasib yang dialaminya.
Keberadaan kakaknya, Ny Oudang (Siti Hartini), adiknya Hardjanti, Ibu Dwijo dan keluarga Amir Moertono di rumah sungguh sangat membantu. Ia tidak kesepian dan jika ada kesulitan tidak jauh dari orang-orang yang bisa dimintai bantuan.
Pada waktu agresi militer Belanda terjadi, Soeharto praktis tidak bisa berlama-lama bersama keluarganya. Kepada Amir Moertono, Soeharto berpesan agar menjaga istrinya, dan bila perlu mereka semua mengungsi. Ketika kondisi semakin gawat, Siti Hartinah berikut orang-orang yang tinggal di rumah Jalan Merbabu No. 2 mengungsi. Mereka sempat mengungsi ke sebuah ruamh kecil yang kosong yang memiliki banyak kamar di dekat penjara. Pernah suatu kali tentara Belanda datang. Tentara itu sempat melihat kopor yang di atasnya ditumpuk kertas-kertas koran bekas. Sedangkan di bagian bawah adalah pedang dan senjata. Beruntung tentara Belanda itu tidak mengacak-acak kopor. Kalau saja itu terjadi, bisa saja mereka semua ditahan Belanda.
Pada tanggal 23 Januari 1949 di rumah pengungsiannya, Ny Soeharto mengalami kejadian baru yang belum pernah dialaminya. Ia melahirkan anak pertamanya. Pada saat itu, tentara Belanda sering melakukan inspeksi ditambah pemberlakuan jam malam. Ia melahirkan dibantu seorang bidan yang bersedia datang dan menginap di rumah itu. Padahal, biasanya jarang ada bidan yang mau datang. Mereka takut dianggap mata-mata oleh Belanda. Sedangkan dokter, di dalam situasi darurat itu terlalu sulit untuk mencari seorang dokter. Sementara suaminya sedang berada di medan tempur yang tidak diketahui keberadaannya.
Berita kelahiran bayi mungil itu akhirnya sampai ke telinga Soeharto. Ia tentu sangat gembira mendengar berita itu. Sang bayi itu kemudian diberi nama Siti Hardijanti Hastuti (Tutut). Ia pun ingin segera melihat wajah bayinya. Namun, lantaran tugas dan tengah mempersiapkan serangan balasan bagi Belanda, keinginannya itu harus ditunda.
Bulan Januari berlalu tanpa kehadiran Soeharto, sang suami dan ayah dari bayi kecilnya. Bulan Februari pun berlalu begitu saja. Hanya surat-surat dari medan tempur yang diterima sedangkan orangnya masih tinggal di sana. Sebenarnya Soeharto ingin sekali datang, tetapi ia tidak mungkin melakukannya. Rumah pengungsian yang berada dekat penjara yang dikuasi Belanda sangat rawan untuk dikunjungi. Jika ketahuan, ia bisa tertangkap dan akan membuat rencana perjuangan gagal.
Serangan terhadap markas Belanda yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret berhasil. Meskipun hanya menduduki Yogya selama enam jam, namun serangan itu telah membuka mata dunia akan keberadaan Indonesia. PBB pun kembali mendesak Belanda agar berunding dengan pemerintah RI.
Setelah berlangsungnya serangan dan Belanda akan menarik mundur pasukan dari Yogyakarta, Soeharto secara diam-diam mendatangi Sri Sultan di keraton. Setelah bertemu, malamnya ia menginap di dapur keraton. Pada saat itu, Soeharto mengirimkan utusan agar istrinya datang ke keraton. Dengan diantar Letnan Amir Moertono, Ny, Soeharto dengan membawa bayi kecil. Mereka pun kemudian bertemu. Itu adalah pertemuan pertama setelah berpisah selama 4 bulan. Soeharto tidak habis-habis mencium bayinya. Pertemuan itu hanya berlangsung selama satu jam, karena Soeharto harus kembali ke garis depan. Pertempuran belum selesai.
Setelah keadaan benar-benar aman dan pemerintah RI kembali ke Yogya, keluarga Soeharto pun kembali berkumpul. Posisi Soeharto pun sudah berubah. Ia kini menjadi Komandan Brigade III Divisi Diponegoro.
Hengkangnya Belanda dari bumi pertiwi tidak berarti masalah selesai. Pemberontakan dari dalam pun mulai bermunculan. Salah satunya adalah pemberontakan Andi Aziz di Makassar. Untuk mengatasi pemberontakan dibentuklah satu pasukan ekspedisi di bawah kepemimpinan Kolonel Kawilarang. Brigade Mataram/Divisi III Jawa Tengah diputuskan sebagai salah satu bagian ekspedisi. Letkol Soeharto ditugaskan sebagai komandan pasukan Garuda Mataram untuk menumpas pemberontakan.
Tanggal 21 April 1950 Brigade Garuda Mataram meninggalkan Semarang. Siti Hartinah kembali harus berpisah dengan suaminya. Ia sadar akan tugas penting suaminya, meskipun hatinya sedih dan ingin selalu bersama sang suami.
Setelah suaminya pergi menunaikan tugas, Ny. Soeharto tidak tinggal diam. Dia mengunjungi istri-istri prajurit anak buah suaminya. Dia merasakan di hati istri tentara itu terdapat kegelisahan dan kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang buruk pada suami mereka. Sulitnya komunikasi membuat perasaan khawatir itu semakin menjadi karena tidak tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi di Makassar.
Setelah beberapa bulan berpisah, Siti Hartinah memutuskan untuk mengunjungi suaminya di Makassar. Ia tidak sekadar rindu, tetapi menurut pemikirannya, kepergiannya itu akan membantu menghilangkan paling tidak mengurangi kecemasan istri prajurit. Sebelum berangkat, sekali lagi, Ny. Soeharto mengunjungi istri prajurit dan bertanya apakah ada yang ingin menitipkan surat untuk suaminya. Ternyata sangat banyak surat titipan. Ia dengan senang hati membawa surat-surat tersebut. Surat itu tentunya akan menambah semangat suami mereka yang ada di garis depan.
Siti Hartinah hanya satu minggu berada di Makassar. Ia tidak ingin berlama-lama, karena yang terpenting dari misinya adalah melihat dengan mata kepala sendiri kondisi dan situasi pasukan, menyampaikan titipan-titipan dari rumah, dan tentu saja bertemu dengan suaminya. Dalam keberangkatannya itu ia membawa anak sulungnya Tutut yang baru berusia 14 bulan. Selama perjalanan Tutut tidak rewel sama sekali.
Perjalanan singkat itu telah cukup baginya untuk mengabarkan kepada istri-istri prajurit tentang situasi di medan perang. Ny. Soeharto mengabarkan situasi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal itu mengurangi rasa kekhawatiran dan kegelisahan mereka. Hingga akhirnya pada bulan September 1950 seluruh prajurit Brigade Mataram kembali ke Yogyakarta, kecuali 17 orang prajurit yang gugur. Pasukan KNIL/KL telah menyerah dan meninggalkan Makassar.
Pada tanggal 1 Mei 1951, keluarga Soeharto bertambah semarak setelah kehadiran anak kedua yang diberi nama Sigit Haryoyudanto. Kali ini kelahiran terjadi tidak dalam suasana darurat. Tidak lagi di pengungsian dan jauh dari suami. Ny. Soeharto melahirkan di rumah bidan dan ditunggu suaminya.
Beberapa bulan setelah Sigit lahir, Soeharto diberi tugas untuk memimpin Brigade Pragola I di Salatiga. Mereka sekeluarga pun akhirnya meninggalkan Yogya menuju Salatiga. Pada tanggal 1 Maret 1953, keluarga itu harus pindah rumah lagi. Kali ini menuju kota Solo. Di kota ini Letnan Kolonel Soeharto menjabat sebagai Komandan Resimen 15 (eks Brigade Panembahan Senopati). Ketika meninggalkan Solo enam tahun lalu, mereka tidak membayangkan akan kembali ke kota itu dengan posisi yang jauh berbeda. Kini Letkol. Soeharto adalah orang nomor datu di jajara hierarki militer kota Solo. Di kota inilah lahir putra ketiga mereka yang diberi nama Bambang Tri Hatmojo pada tanggal 23 Juli 1953.
Anak keempat, Siti Hediati Haryadi (Titik) lahir pada tanggal 14 April 1959 di Semarang. Pada saat itu Soeharto menjabat sebagai Panglima TT-IV/Diponegoro. Ia lahir ketika kondisi keluarga relatif berkecukupan.
Kelahiran anak kelima yang diberi nama Hutomo Mandala Putra (Tomy) pada tanggal 12 Agustus 1962 cukup istimewa. Pada saat itu Ny. Soeharto tidak dapat ditunggui suaminya yang tengah mengemban tugas besar untuk membebaskan Irian Barat dengan nama Operasi Jayawijaya. Soeharto diberi kepercayaan sebagai Komando Mandala.
Putri bungsu, Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamik) lahir melalui operasi di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 1964. Pada saat itu Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Mamik dioperasi karena letak bayi dalam keadaan sungsang.
Ny. Soeharto mengakui, hidup dengan mengandalkan gaji suaminya cukup berat. Meskipun demikian, ia tidak mengeluh dan tidak meminta lebih secara materi. Apa yang diberikan suami, itulah yang digunakan untuk mengurus rumah tangga meskipun tidak cukup. Untuk mengatasinya, ia sering membuat kain batik. Kain itu dijual ke kerabatnya. Hasilnya digunakan untuk menutupi kekurangan penghasilan suami. Ia tidak malu melakukan hal itu, karena yang dilakukannya adalah pekerjaan halal dan legal serta bukan meminta-minta.
Kudeta PKI
Pada waktu Mayor Jenderal Soeharto diangkat menjadi Panglima Kostrad, PKI sudah berada di atas angin. Dengan bersandar pada wibawa dan kharisma Bung Karno, PKI bertambah garang dalam menghadapi lawan-lawan politiknya.
PKI sangat mendukung langkah Bung Karno untuk melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Dukungan itu tidak sekadar ucapan, melainkan juga pengerahan massa dari unsur Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Pemuda Rakyat. Mereka dilatih sebagai pasukan cadangan tempur di dekat lapangan udara Halim Perdanakusumah. Namun, latihan itu pada dasarnya adalah persiapan PKI untuk melancarkan Gerakan 30 September.
Setiap instansi sebenarnya diharapkan mengirim utusan sebagai sukarelawan dan sukarelawati dalam mobilisasi umum persiapan konfrontasi dengan Malaysia. Perguruan tinggi, organisasi massa dan politik mengutus wakil-wakilnya. Dari Angkatan Bersenjata yang ikut ambil bagian adalah istri-istri tentara, karyawan, dan karyawati sipil.
Kostrad adalah salah satu instansi TNI-AD yang tidak ikut-ikutan mengerahkan istri-istri tentara ke tempat hingar-bingar itu. Kebijakan itu terjadi karena istri Panglima Kostrad, Ny. Siti Hartinah Soeharto berpegang teguh pada tugas istri prajurit. “Kalau suami sesuai dengan tugasnya pergi bertempur, istrinya juga ikut, siapa yang mengurus keluarga dan anak-anak?” katanya dengan nada bertanya.
Beberapa hari sebelum meletus Gerakan 30 September, pimpinan dan pengurus Persit Kartika Chandra diundang untuk mendengarkan penjelasan Menteri/Panglima AD Jend A Yani. Saat itu Ny. Soeharto adalah Ketua Persit. Jenderal Yani menjelaskan gawatnya situasi politik saat itu dan bagaimana peran TNI-AD.
Sepulang dari acara itu, Ny. Soeharto membuat sup kaldu tulang sapi kesukaan anak-anaknya. Pada waktu membawa sup ke meja makan, Tomy berlari-lari dan menabraknya. Ia pun tersiram kuah sup panas yang melepuhkan kulitnya. Setelah dilakukan pertolongan pertama, Tomy segera dibawa ke RS Gatot Subroto untuk dirawat. Pada tanggal 30 September, Mayjen Soeharto dan istrinya menjenguk Tomy di rumah sakit. Menjelang pukul 12 malam, Ny. Soeharto menyuruh suaminya pulang karena di rumahnya hanya tinggal putri bungsu mereka, Mamik yang baru berusia satu tahun. Soeharto pun pulang.
Pada tanggal 1 Oktober, pagi-pagi sekali, datang seorang tamu, Hamid nama tamu itu, memberitahukan kepada Mayjen Soeharto mengenai tembak-menembak di beberapa tempat. Tak lama kemudian, Mashuri, tetangga yang lain menemui dan mempertegas berita dari Hamid. Hal itu membuatnya bertanya-tanya, apa yang telah terjadi? Broto Kusmardjo kemudian datang melaporkan bahwa beberapa Perwira Tinggi TNI-AD telah diculik. Tidak dijelaskan siapa pelakunya.
Lonceng jam enam belum berbunyi ketika Letkol Soejiman diutus Mayjen Umar Wirahadikusumah yang menjabat Pangdam V Jaya melaporkan bahwa di sekitar Monas dan Istana Presiden terdapat konsentrasi pasukan yang tidak dikenal. Ia langsung berkata, “Segera kembali dan laporkan kepada Pak Umar saya akan cepat datang ke Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat.”
Seluruh informasi itu membuat Mayjen Soeharto segera mengambil keputusan. Ia langsung memakai pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, mengendarai jeep sendiri tanpa pengawal menuju Markas Kostrad.
Pada pukul 7.00 WIB lebih sedikit, siaran warta berita RRI memberitakan telah terjadi gerakan militer di tubuh Angkatan Darat. Gerakan yang menamai Gerakan 30 September itu dikepali Letkol Untung. Untung adalah bekas anak buah Soeharto ketika dia menjadi Komandan Resimen 15 di Solo. Untung adalah Komandan Kompi Batalyon 444 dan pernah mendapat didikan politik dari tokoh PKI Alimin.
Mendengar berita itu, Soeharto segera mengambil kesimpulan bahwa gerakan yang dipimpin Untung itu adalah kup yang ingin menguasai negara secara paksa. Ia memutuskan untuk melawan gerakan tersebut. Tahap pertama adalah mengamankan pasukan yang berjaga-jaga di Monas. Tahap berikutnya adalah memerintahkan Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo untuk merebut kembali RRI dan pusat telekomunikasi yang telah dikuasai para pemberontak. Tugas selanjutnya adalah menyerbu pusat gerakan kontrarevolusi di dekat Halim Perdanakusuma.
Pada saat Soeharto mengambil kebijakan strategis untuk menyelamatkan bangsa, Ny. Soeharto tengah menunggui putranya di RSPAD. Kesibukan di RSPAD lain dari biasaya. Dalam waktu singkat, ia segera mengetahui telah terjadi penculikan beberapa jenderal dan ditembak pasukan Cakrabirawa. Ia pun gelisah dan ingin segera pulang ke rumah. Ia khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal yang lebih gawat, sementara ia terpisah dengan anak-anak dan suaminya. Akhirnya, ia pun pulang membawa Tomy. Suaminya masih ada di Markas Kostrad dan meninggalkan pesan agar membawa anak-anaknya mengungsi ke tempat tinggal ajudan Pak Harto di Kebayoran Baru sambil terus mengikuti perkembangan melalui radio.
Sedikit demi sedikit situasi dapat diatasi. RRI dan pusat telekomunikasi dapat direbut kembali. Segera disiarkan pengumuman telah terjadi upaya penculikan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965. Mereka yang diculik adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Haryono M.T., Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo.
Mendengar dan melihat banyaknya korban perwira tinggi yang diculik dan dibunuh membuat Ny. Soeharto sedih luar biasa. Ia tidak membayangkan saudara sebangsa dan seperjuangan dapat berbuat tega seperti itu.
Sejak 1 Oktober 1965 hingga 11 Maret 1966 dipenuhi dengan berbagai peristiwa yang luar biasa. Penculikan, penemuan korban yang sudah tewas, munculnya gelombang aksi demonstrasi yang menghendaki pembubaran PKI yang dikenal dengan nama Tritura, hingga pemberian Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Dalam masa-masa genting itu, Ny. Soeharto tampil sebagai pendorong dan pendamping suami yang paling kokoh. Ia juga memperhatikan langkah-langkah dan tindakan yang diambil suaminya dalam mencermati keadaan yang bergerak cepat.
Pada tanggal 11 Maret diadakan rapat kabinet di Istana. Pada saat itu, Soeharto tidak dapat hadir karena sedang sakit flu, batuk-batuk, dan demam. Namun, rapat tidak dapat berlangsung dengan baik, karena Presiden Soekarno dengan tergesa-gesa meninggalkan rapat setelah mendapat laporan adanya pasukan tak dikenal di luar istana. Dengan kondisi yang demikian, Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M Yusuf, dan Brigjen Amirmachmud segera menemui Soeharto dan melaporkan apa yang terjadi di sidang kabinet.
Ketiga jenderal itu kemudian berinisiatif menyusul Presiden Soekarno ke Istana Bogor dengan maksud agar Bung Karno menjadi tenteram dan tidak merasa dikucilkan TNI-AD. Sebelum pergi, Soeharto berkata, “Sampaikan salam dan hormat saya kepada Bung Karno. Laporkan, saya dalam keadaan sakit. Kalau diberi kepercayaan, keadaan sekarang ini akan saya atasi.”
Tiga jenderal itu berhasil meyakinkan Bung Karno bahwa Pak Harto adalah orang yang tepat untuk mengatasi keadaan dan memulihkan keamanan. Ketiganya kembali ke Jakarta dengan membawa dokumen yang amat penting, Supersemar. Mereka langsung menuju rumah Panglima Kostrad meskipun hari telah larut malam. Setelah membaca surat perintah itu, Mayjen Soeharto langsung berganti pakaian loreng lengkap dan segera pergi ke Markas Kostrad.
Ny. Soeharto mengenal benar kondisi kesehatan suaminya. Jika terlalu penat apalagi dengan tekanan dan beban pikiran yang menindih maka alergi tenggorokan selalu kambuh sehingga menyebabkan batuk-batuk yang amat mengganggu. Itulah yang terjadi pada malam itu. Firasat Ny. Soeharto mengatakan suaminya akan membuat keputusan penting. Benar saja. Keesokan harinya pada pukul 6.00 WIB RRI menyiarkan berita pembubaran PKI. Pembubaran PKI ini disambut oleh seluruh rakyat Indonesia dengan hati lega. Seminggu kemudian 15 menteri Kabinet Dwikora yang diduga berhubungan dengan PKI dicopot. Era baru kehidupan berbangsa pun dimulai.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar